TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekelompok lembaga dan lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa tidak memberikan hak politik dan mengampanyekan kepada masyarakat untuk tidak memberikan hak politiknya bukan merupakan tindak pidana.
Mereka merespon kemunculan kelompok yang tidak mendukung salah satu pasangan calon presiden dalam Pilpres 2019 dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak patut.
Padahal menurur Koalisi Masyarakat Sipil tidak memilih adalah juga hak, seperti halnya memilih dan setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai kehadiran kelompok yang tak memihak kedua pasangan politisi itu seharusnya dibaca sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas individu, ataupun rekam jejak yang bersih, anti-korupsi, dan berpihak pada hak asasi manusia
Mereka juga memilih terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin bukanlah terjadi secara alamiah melainkan didesain dan dibentuk sedemikian rupa.
Menurut mereka hal tersebut dapat dilihat dari kondisi-kondisi antara lain syarat terbentuknya partai yang dipaksakan nasional, sehingga hanya partai-partai modal besar yang dapat ikut pemilu dan sistem politk menutup adanya partai lokal, kecuali di Aceh yang memiliki Otonomi Khusus.
Mereka juga menilai dalam sistem partai modal besar itu, masih ada sistem presidential threshold, di mana seseorang hanya bisa dicalonkan sebagai presiden jika didukung 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara nasional.
Jadi meski sebuah partai politik telah lolos verifikasi nasional dengan syarat yang berat dan berbiaya mahal, telah punya kursi di DPR, tapi tidak dapat serta merta mencalonkan siapapun sebagai Presiden Republik Indonesia.
Syarat yang berat untuk mengajukan calon presiden ini, memaksa sesama partai modal besar, bergabung menjadi kekuatan modal yang lebih besar agar dapat mencalonkan seseorang sebagai presiden.
Padahal, pengalaman memiliki presiden secara langsung selama tiga kali sejak 2004, menunjukkan bahwa calon yang diinginkan masyarakat umum bisa berbeda dengan calon-calonyang dikehendaki kumpulan partai modal besar ini
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai para oligarki para elit ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon presiden independen meski gubernur, bupati, atau walikota dapat dicalonkan dari jalur independen.
Mereka juga menilai sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama para sponsornya ini (oligarki) tidak selalu menjamin hasil yang baik.
Mereka mencatat, dalam 13 tahun terakhir, terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan sebagian besar dari mereka dipastikan adalah pejabat yang disorongkan dan didukung lewat jalur partai-partai politik.
Dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup seperti ini pun, kedua capres dan cawapres saat ini sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbo-simbol agama tertentu semata-mata untuk meraih dukungan.
Berdasaroan situasi dan kondisi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tidak memilih salah satu pasangan calon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam berdemokrasi.
Mereka pun sepakat posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar.
"Sebab, Undang-Undang momor 7 tahun 2017 tentang Pemilithan Umum (UU Pemilu) tidak melarang seseorang menjadi golput," sebagaimana dikutip dalam rilis Koalisi Masyarakat Sipil yang dibagikan dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Rabu (23/1/2019).
Menurut mereka, pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan golput.
Namun berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.
Pasal 515 UU pemilu berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
Atas dasar rumusan pasal tersebut, mereka mencatat beberapa hal penting yakni unsur "dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,".
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, dengan unsur tersebut maka yang dapat dipidana hanya orang yang mengegrakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
"Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikans ejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana," sebagaimana dikutip dalam rilis pers Koalisi Masyarakst Sipil.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana karena hal itu sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana.
Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yag dijamin oleh Undang-Undang orang lain menggunakan janji dan pemberian uang Masih dan Konstitusi selama tidak menggerakkan atau materi lainnya untuk golput .
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum.
Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini.
Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat.
"Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi negara," sebagaimana dikutip dalan rilis pers.
Mereka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil dan hadir dalam konferensi pers tersebut antara lain Arip Yogiawan (LBHI), Yati Andriani (kontras), Lini Zurlia (masyrakat sipil), Eliza (masyarakat sipil), Arif maulana (LBH Jakarta), Alghifari Aqsa (pengacara publik), Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat), dan Sustira Dirga (ICJR).