TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menegaskan pihaknya sangat konsen terhadap kejahatan seksual.
Oleh karena itu fraksinya sangat menyoroti rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan seksual.
Menurut Jazuli, penolakan Fraksi PKS terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan tanpa alasan.
Salah satunya yakni karena definisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut terlalu luas.
"Tidak fokus, melebar ke permasalahan di luar tindak kejahatan seksual. Eksesnya ke pernikahan, kontrasepsi, dan aborsi," ujar Jazuli, Kamis (7/2/2019).
Baca: Komisi VIII DPR: RUU PKS Untuk Pencegahan, Perlindungan, Rehabilitasi Kkorban Kekerasan Seksual
Selain itu dalam definisi kekerasan seksual itu, tidak memberikan batasan mengenai istilah 'merendahkan', padahal kata tersebut cenderung subyektif atau relatif sehingga berpotensi disalahgunakan.
"Dan tidak memperhitungkan resiko korban dapat kehilangan nyawanya oleh tindakan kejahatan seksual," katanya.
Selain itu menurutnya dalam definisi tersebut juga memasukkan unsur 'hasrat seksual' yang luas, sehingga dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual yang menyimpang.
"Menggunakan istilah 'relasi kuasa' yang dapat disalah-pahami dengan 'relasi suami-istri', sehingga berpotensi menimbulkan polemik dalam kehidupan berumah-tangga," tuturnya.
Padahal menurut Jazuli saat ini yang dibutuhkan adalah undang-undang yang tegas dan komprehensif dengan melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa.
"Bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham atau ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri," pungkasnya.
Adapun definisi Kekerasan Seksual Dalam RUU, pada Pasal 1 huruf yakni: Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.