TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu dari 149 penumpang pesawat Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET-302 adalah seorang warga Indonesia bernama Harina Hafitz.
Perempuan berusia 60-an tahun tersebut merupakan satu dari tujuh staf World Food Program—badan pangan di bawah PBB—yang menumpang pesawat itu.
Kepada BBC News Indonesia, adik laki-laki Harina Hafitz mengatakan bahwa kakaknya telah lama bekerja untuk WFP.
Bahkan, kepergiannya ke Nairobi adalah dalam rangka mengikuti pertemuan PBB di Nairobi, Kenya.
"Beliau sempat kirim Whatsapp ke saya hari Sabtu (9/3), memberitahu dapat tugas ke Nairobi. Pesawatnya dari Roma transit dulu di Addis Ababa," papar Hari Lutfi, Senin (11/3) pagi WIB.
Baca: Jenazah WNI Penumpang Ethiopian Airlines yang Jatuh Belum Ditemukan
Harina, menurut Hari, telah berdomisili di Kota Roma, Italia, selama puluhan tahun. Dia meninggalkan suaminya yang berkebangsaan Italia dan dua anak.
"Suaminya dan kedua anaknya masih shock, belum tahu harus bagaimana," kata Hari, adik langsung dari Harina yang merupakan sulung dari empat bersaudara.
Secara terpisah, seorang keponakan Harina mengatakan pihak keluarga sedang menunggu kabar dari WFP dan Ethiopian Airlines.
"Semasa hidupnya, beliau ada seorang pekerja keras," kata Sevila, anak dari adik bungsu Harina.
Sebelumnya, seorang WNI dipastikan menjadi korban jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines pada Minggu (10/03) oleh Kementerian Luar Negeri RI.
Baca: Pengamat: Kecelakaan di Ethiopia Mirip Lion Air PK-LQP
Melalui keterangan tertulis Kedutaan Besar Indonesia di Roma, Italia, WNI tersebut tinggal di Roma dan bekerja untuk World Food Program (WFP).
"Duta Besar RI di Roma, telah bertemu dengan keluarga korban, dan menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban.
"KBRI Roma akan terus berkordinasi dengan keluarga korban, KBRI Addis Ababa dan Kantor WFP Roma untuk pengurusan jenazah dan dukungan bagi keluarga."
Keterangan ini sejalan dengan pengakuan Direktur Eksekutif WFP, David Beasley, bahwa ada stafnya yang meninggal dunia dalam peristiwa itu.
Seorang sumber PBB kepada kantor berita Agence France-Presse bahwa "sedikitnya 12 korban berafiliasi dengan PBB."
Pesawat dengan nomor penerbangan ET-302 itu menggunakan pesawat Boeing 737 Max-8 yang dioperasikan sejak November 2018.
Saat jatuh, pesawat itu mengangkut 149 penumpang dan delapan awak.
Baca: Ditinggal Reino Barack Nikah dengan Syahrini, Luna Maya Disebut Bakal Dapat Pria Bersifat Kebapakan
Mereka dinyatakan meninggal dunia, termasuk 32 warga Kenya, 18 warga Kanada, sembilan warga Ethiopia, delapan warga Amerika Serikat dan seorang warga negara Indonesia.
Pimpinan Ethiopian Airlines, Tewolde Gebremariam, mengatakan mereka yang berada di dalam pesawat naas itu berasal dari 30 negara yang berbeda-beda.
Selain seorang penumpang dari Indonesia, terdapat satu penumpang dari masing-masing negara; Belgia, Somalia, Norwegia, Serbia, Togo, Mozambik, Rwanda, Sudan, Uganda dan Yaman.
Penyebab terjadinya kecelakaan belum sepenuhnya jelas. Namun, pilot melaporkan mengalami kesulitan dan telah meminta kembali ke Addis Ababa, sebut Ethiopian Airlines.
"Pada tahap ini, kami tidak bisa menepis apapun," sebut CEO Ethiopian Airlines, Tewolde Gebremariam, kepada para wartawan di Bandara Internasional Bole di Addis Ababa.
Baca: Reino Barack-Syahrini Disebut Ada Tekanan Saat Hadapi Media, Peramal: Tegang karena Merasa Bersalah
"Kami juga tidak bisa mengaitkan suatu hal dengan penyebabnya karena kami harus mematuhi aturan internasional dalam menunggu penyelidikan."
Pandangan di lokasi disebut baik namun laman pemantau lalu lintas udara, Flightradar24, melaporkan "kecepatan vertikal pesawat tidak stabil setelah lepas landas".
Pesawat itu jatuh sekitar enam menit setelah tinggal landas dari ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, dengan tujuan ibu kota Kenya, Nairobi.
Pimpinan Ethiopian Airlines, Tewolde Gebremariam, meninjau lokasi jatuhnya pesawat dengan nomor penerbangan ET-302.
Operasi pencarian tengah dilakukan di lokasi jatuhnya pesawat di sekitar Kota Bishoftu, 60km arah tenggara Addis Ababa.
Pesawat tersebut diantarkan ke Ethiopian Airlines pada 15 November 2018 dan menjalani "pemeriksaan awal yang teliti" pada 4 Februari, cuit maskapai Ethiopian Airlines.
Pilot yang bertugas adalah Kapten Senior Yared Getachew dengan "performa terpuji" dan telah mengantongi 8.000 jam terbang, sebut maskapai Ethiopian Airlines.
Kopilot adalah Ahmed Nur Mohammod Nur dengan 200 jam terbang.
Model pesawat itu sama dengan model pesawat yang dioperasikan Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 yang jatuh dalam penerbangan dari Jakarta-Pangkal Pinang pada tanggal 29 Oktober tahun 2018.
Bahkan, seperti pilot maskapai Ethiopian Airlines, pilot Lion Air dilaporkan menghubungi pengawas lalu lintas udara guna meminta izin untuk kembali, tidak lama setelah lepas landas.
Dalam peristiwa itu, seluruh 189 penumpang dan awak kapal meninggal dunia setelah pesawat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat.
Seorang saksi mata di tempat kejadian di Addis Ababa mengatakan kepada BBC bahwa terjadi kebakaran besar ketika pesawat menghantam darat.
"Ledakan dan kebakaran begitu dahsyat sehingga kami tidak bisa mendekat," katanya.
Semuanya terbakar habis. Ada empat helikopter di lokasi kejadian sekarang," tambahnya.
Berita tragis itu pertama kali diungkapkan oleh Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, yang menyampaikan "belasungkawa mendalam" melalui akun Twitter.
Produsen pesawat Boeing menyatakan kesedihan mendalam atas jatuhnya pesawat Ethiopia Airlines yang menyebabkan seluruh penumpang dan awaknya meninggal dunia.
Menyusul jatuhnya pesawat Lion Air B-737 Max-8, Boeing menerbitkan buletin khusus tentang masalah sensor yang diperingatkan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Dalam buletin, perusahaan Amerika itu menegaskan bahwa para pejabat KNKT yakin pilot mendapat informasi yang salah dari sistem otomatis pesawat sebelum jatuh menghujam ke perairan Karawang.