Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin tidak menampik bahwa saat ini pihaknya dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menghadapi upaya delegitimasi.
Menurutnya, delegitimasi terhadap penyelenggara pemilu merupakan salah satu bentuk kekerasan pemilu.
Hal itu biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki identitas tidak jelas.
"Biasanya yang banyak terjadi ini dari yang tidak terlalu jelas identitasnya," ujar Afif, di Kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2019).
Baca: Ini Rencana Rute Baru Transjakarta di Tangsel
Delegitimasi tersebut bisa berupa penyebaran informasi palsu atau kabar hoax terkait penyelenggara pemilu, yang dikemas seolah memihak dan tidak netral.
Menjelang pesta demokrasi yang akan digelar pada April mendatang, ia menyebut para pelaku bisa saja berasal dari kalangan relawan maupun simpatisan capres dan cawapres.
Namun mereka biasanya tidak bisa dijerat menggunakan Undang-undang (UU) Pemilu.
Sehingga hal itu terkadang menjadi celah bagi mereka untuk melakukan kasus serupa.
"Relawan kah atau simpatisan yang secara Undang-undang ada celah, mereka bisa tidak dijerat dengan Undang-undang pemilu," jelas Afif.
Namun para pelaku tentunya bisa dijerat menggunakan UU lainnya yakni UU ITE, jika penyebarannya telah memasuki ranah media sosial.
"Tapi kalau sebaran kebencian tersebut menyebar di media sosial, biasanya yang dipakai Undang-undang ITE, jadi di Undang-undang pemilu nya lewat, Undang-undang yang lain diproses," kata Afif.