News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Ratna Sarumpaet

Ahli Bahasa Dicecar Pendapatnya Soal Frasa "Penyiaran Berita Bohong" dalam Sidang Ratna Sarumpaet

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratna Sarumpaet Memberi keterangan ke Media sebelum kembali ditahan di Rutan Polda Metro Jaya pada Selasa (26/3/2019)

TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).

Di awal tanya jawabnya dengan Hakim Ketua Joni, Wahyu menjelaskan bahwa bidang ilmu yang dikuasainya adalah filsafat bahasa. 

Ia menjelaskan, secara hakikat filsafat bahasa berbeda dengan linguistik atau ilmu bahasa dari segi subjek keilmuan. 

Wahyu menjelaskan, filsafat bahasa lebih cenderung memeriksa makna bahasa sedangkan linguistik lebih cenderung memeriksa bentuk bahasa. 

"Dalam pengertian keilmuan dibedakan dengan linguistik. Filsafat bahasa lebih mengarah kepada makna bahasa sehubungan dengan kehidupan. Linguistik berkaitan dengan bentuk-bentuk bahasa. (Filsafat bahasa) terkait penggunaan bahasa pada masayarakat, pada konteksnya," kata Wahyu di Pengailan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).

Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019). (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Baca: Soal Ahli Digital Forensik yang Dihadirkan JPU, Ratna Sarumpaet: Kalau Dari Jaksa Memberatkan Dong

Wahyu menjelaskan, sejumlah hal yang perlu disoroti untuk mencari makna dalam perspektif filsafat bahasa antara lain, penutur, tuturan (bentuk), penerima tuturan (audien), reaksi dari penerima tuturan (kesan), dan situasi saat proses komunikasi itu terjadi (konteks). 

Wahyu juga mengatakan profil penutur dan konteks akan menentukan kesan atau reaksi.

Terkait hal tersebut, menurut Wahyu bahasa juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penerima tuturan terlebih jika penutur adalah seorang tokoh publik. 

Terkait frasa "penyiaran berita bohong", Wahyu berpendapat penyiaran informasi yang mengandung sesuatu yang tidak benar bisa dilakukan oleh satu orang ke satu orang lain.

Terkait dengan kata "keonaran", Wahyu berpendapat keonaran tidak berarti harus mengakibatkan keributan fisik. 

Menurutnya, dalam filsafat bahasa onar bermakna membuat orang bertanya-tanya, gaduh, heran, atau menimbulkan pro kontra. 

Ia mengatakan, pada awalnya dua orang saja sudah cukup untuk dikatakan terlibat dalam keonaran meski dalam perkembangannya membutuhkan lebih banyak orang. 

"Dalam konteks ini tidak berarti harus ada keributan fisik. Onar bisa saja membuat bertanya-tanya, gaduh, heran, dalam konteks filsafat bahasa seperti itu. Dalam konteks filsafat bahasa itu (pro kontra adalah) onar. Awalnya dua (orang) saja cukup tapi dalam perkembangannya harus melibatkan banyak orang," kata Wahyu. 

Wahyu menolak ketika ditanya pengacara Ratna makna dua kata tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 pasal 14.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini