TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi massa menolak pengumuman hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019 pada 21-22 Mei diyakini ada yang mendalangi hingga akhirnya pecah kerusuhan.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan menilai auktor intelektual tersebutmendesain kerusuhan di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat demi kepentingan politik.
Baca: Moeldoko Mengaku Juga Diincar Hingga Harus Dikawal 2 Personel Kopassus
"Kita lihat dari bukti-bukti yang dikemukakan beberapa hari belakangan ini jelas sekali ada mastermaind, ada aktor-aktor intelektual yang mendesain ini semua, memanfaatkan demonstrasi damai minggu lalu itu untuk menyebar teror demi kepentingan politik," ujar Bara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Bara Hasibuan menilai para auktor intelektual tersebut bisa saja merupakan bagian dari elite politik.
Pasalnya, polisi menduga kericuhan yang terjadi dipicu oleh massa bayaran.
Sejumlah amplop berisi uang pun ditemukan dari massa yang diamankan.
Kemudian diketahui adanya rencana pembunuhan terhadap empat pejabat negara dan seorang pemimpin lembaga survei.
Oleh sebab itu, Bara mendukung upaya tegas kepolisian dalam menindak orang-orang yang diduga menjadi dalang kerusuhan.
Ia memandang kasus tersebut akan menjadi preseden buruk dan berpotensi kembali terjadi pada pemilu berikutnya jika tidak dituntaskan.
"Jadi saya minta kepada pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu mengambil tindakan hukum terhadap beberapa orang tersebut yang bisa saja merupakan bagian dari elite politik," kata Bara Hasibuan.
"Karena yang mereka lakukan itu sangat berbahaya dan bisa menjadi preseden buruk ke depan kalau tidak dilakukan tindakan tegas sekarang. Di pemilihan presiden berikutnya kalau ada satu pihak yang tidak puas dengan hasilnya bisa melakukan hal yang sama," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyebutkan, aksi yang berujung ricuh pada Selasa (21/5/2019) malam di depan gedung Bawaslu dan Rabu (22/5/2019) dini hari di kawasan Petamburan dan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dilakukan oleh perusuh.
Menurut Wiranto, ada skenario untuk membuat kekacauan yang bertujuan menyerang aparat keamanan dan menimbulkan antipati terhadap pemerintahan yang sah.
Aksi oleh kelompok perusuh ini dilakukan hampir bersamaan setelah berakhirnya aksi yang dilakukan oleh massa yang menolak hasil Pilpres 2019.
Sementara, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal mengatakan, massa yang datang pada dini hari ke kawasan Tanah Abang dan Wahid Hasyim, Jakarta, bukanlah massa spontan.
Ia menyebutkan, massa ini sudah dipersiapkan dan terencana.
Selain itu, polisi mengungkap adanya kelompok pihak ketiga yang ingin menciptakan martir dan juga diduga berniat melakukan upaya pembunuhan terhadap empat pejabat negara dan seorang pemimpin lembaga survei.
Baca: Selama Sepekan Ini, Polisi Telah Amankan Sepuluh Penyebar Hoaks Seputar Aksi 22 Mei
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa, Muchammad Nabil Haroen, mengatakan adanya aksi unjuk rasa 21-22 Mei kemarin, hal yang biasa.
"Aksi 22 menurut saya bentuk kekecewaan dari beberapa kelompok terhadap penyelenggara pemilu. Jadi wajar ada aksi unjuk rasa sebagai hak konstitusional warga negara. Namun yang kemudian itu menjadi tidak bagus karena disampaikan dengan cara-cara yang anarkis yang tentunya berbeda dengan kelompok-kelompok yang berunjuk rasa dengan damai," ucap pria yang akrab disapa Gus Nabil di DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2019).
Baca: Skenario di Balik Aksi 22 Mei, Ada 3 Eksekutor Bawa Senjata Api Hingga Incar 4 Tokoh Nasional
Ia mengatakan, jika melihat dalang atau aktor, bisa dilihat dari jejak rekamnya.
Bahkan, Gus Nabil menyebut mudah menebaknya.
"Ya tentu kita bisa melihat track record atau rekam jejak ya pihak-pihak yang bermain acara 22. Tidak jauh-jauh, mungkin ada kelompok Cendana atau yang lain. Saya pikir mudah terbaca," ungkap Gus Nabil.
Ia pun mengingatkan, diduga mereka-mereka ini orang yang pernah sakit hati dan meminta aparat bergerak untuk mengungkapkan siapa dalang sebenarnya.
"Orang yang sakit hati memendam duka yang lama. Saya minta aparat untuk menyelidiki. Karena buktinya cukup gamblang. Bagaimana ada penggerak demonstran dan dibayar. Saya pikir tidak perlu penyelidikan yang jelimet," ungkap Gus Nabil.
Untuk itu, ia berharap, tidak ada lagi aksi-aksi sedemikian rupa.
"Ya kita hentikan. Jangan sampai mengambil langkah-langkah inkonstitusional," jelasnya.
Baca: Kadernya Jadi Pengacara Prabowo-Sandiaga, Golkar Ancam akan Berhentikan Dorel Almir
Dalam kesempatan yang sama, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah, mengatakan dengan adanya Gus Nabil, menggambarkan bahwa partai ini tempat bagi siapapun.
"Karena PDI Perjuangan itu rumah besar kaum kebangsaan. Kebetulan Gus Nabil itu ketua Pagar Nusa yang memilih bergabung ke PDIP. Dengan masuknya, membuktikan ini NU masuk di rumah bangsa, bukan milik satu partai tertentu," ucap Basarah.
Hingga berita ini diturunkan, Tribunnews.com belum mendapatkan klarifikasi dari pihak-pihak yang dituding
Aksi Massa Berujung Ricuh
Aksi unjuk rasa terkait hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019 di Gedung Bawaslu pada 21-22 Mei berujung kerusuhan.
Aksi bakar membakar hingga penjarahan terekam dari peristiwa yang menjadi sorotan publik saat itu.
Baca: Ambulans Berlogo Gerindra Pembawa Batu ke Jakarta Disebut untuk Membantu Korban Demo 22 Mei
Polisi pun telah menetapkan ratusan orang diduga provokator sebagai tersangka.
Diketahui, Polda Metro Jaya menangkap 257 tersangka yang diduga provokator dalam Kerusuhan di tiga Tempat Kejadian perkara (TKP) di Jakarta.
"Berkaitan dengan kegiatan unjuk rasa tanggal 21 dan 22 Mei yang TKP-nya ada tiga yakni gedung Bawaslu, wilayah Petamburan, dan Gambir. Dari ketiga TKP itu, ada 257 tersangka," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (22/5/2019).
Secara rinci, Kombes Argo Yuwono menjelaskan, pihaknya mengamankan 72 tersangka terduga provokator yang melakukan unjuk rasa hingga terjadi Kerusuhan di depan gedung Bawaslu RI.
Untuk Kerusuhan di wilayah Petamburan, polisi mengamankan 156 tersangka.
Baca: Usma Hanya Tertunduk Lesu dan Pasrah, Dagangannya Ludes Dijarah Massa Aksi 22 Mei
Sementara untuk Kerusuhan di wilayah Gambir, polisi menangkap 29 tersangka.
"Jumlah (orang yang ditangkap) masih bisa bertambah," ujarnya.
Lalu Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, memberikan pandangan hukum terkait kerusuhan aksi 22 Mei.
Hal ini disampaikan Mahfud MD saat menjadi narasumber di acara Breaking iNews, Rabu (22/5/2019) malam.
Baca: Potret Perjuangan dan Sisi Humanis Aparat dalam Amankan Aksi Massa 21-22 Mei
Menurut Mahfud MD, ada pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut.
Namun bukan dari kubu pasangan calon 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Bukan pula dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.
Mulanya, Mahfud MD menyampaikan keprihatinannya dengan adanya kerusuhan tersebut.
Padahal menurutnya, kerusuhan tersebut sudah tidak ada kaitannya dengan politik.
"Pertama tentu prihatin ya karena begini saya melihatnya urusan politik yang terkait dengan pemilu itu kan sudah disalurkan lewat hukum," ujar Mahfud MD.
"Paslon 02 Pak Prabowo Subianto dan tim BPN-nya sudah menyatakan akan melakukan penyelesaian melalui hukum dan konstitusi yaitu menggungat ke Mahkamah Konstitusi," tambahnya.
Mantan Ketua MK ini mengatakan orang yang berada di kerusuhan itu merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing.
"Kesimpulan pertama dari saya tentang peristiwa ini demo-demo yang diwarnai oleh tindakan kekerasan itu tentu bukan lagi menjadi tanggung jawab Prabowo Subianto bersama timnya," kata Mahfud MD.
"Tetapi merupakan tanggung jawab pribadi-pribadi pelakunya."
Bahkan, jika ada anggota dari BPN Prabowo-Sandiaga yang datang pada aksi tersebut tidak bisa dikatakan ia mewakili kubu 02.
"Kalau misalnya ada orang-orang dari BPN atau dari parpol atau dari paslon yang terlibat yang terlihat di demo-demo itu, maka orang itu harus dianggap bukan lagi sebagai representasi dari politik atau dari organisasi politik atau kontestan politik, melainkan pribadi-pribadi yang sedang melakukan tindakan yang bisa berupa dua hal satu dia sedang menyampaikan aspirasi politik tapi kalau melakukan kekerasan dia melakukan gangguan tindak pidana terhadap ketentraman umum," tambahnya.
Kerusuhan tersebut juga dianggap bukan lagi antara aparat dengan politik melainkan dengan gerakan massa.
"Sekarang posisinya begitu bukan lagi antara aparat dan paslon atau dengan kekuatan politik tertentu tetapi dengan gerakan massa."
"Gerakan massa ini yaitu tadi bukan mewakili kekuatan politik dan juga sekali lagi sering saya katakan, bukan mewakili kepentingan umat apapun."
"Tidak bisa katakan ini untuk bela umat enggak ada kaitannya ini, karena di kedua belah pihak sama-sama banyak umatnya kalau mau bicara itu."
Selanjutnya, Mahfud berpesan agar pemerintah dan masyarakat tidak menginisiasikan dengan gerakan politik.
"Pemerintah melalui aparat segera harus memposisikan ini, masyarakat harus paham harus mafum lah masyarakat kalau pemerintah memposisikan bahwa yang dihadapi ini bukan karena punya aspirasi politik tetapi juga sebuah gerakan masa yang menggangu ketentraman umum," kata Mahfud MD.
"Karena kalau mau dikatakan gerakan politik paslonnya sudah tidak mau ke situ."
"Meskipun ada orang-orangnya terlihat nongol di demo itu sudah bukan mengatasnamakan paslon atau partai politik yang ikut kontes di dalam pemilu tahun 2019 ini."
Sebelumnya Mahfud MD juga menerangkan soal kabar anggota ormas Islam yang ditembak aparat kepolisian.
Hal tersebut disampaikan Mahfud MD melalui teleconference di siaran langsung saluran YouTube KompasTV, Rabu (22/5/2019).
Menurut Mahfud MD, pernyataan seperti itu hanya merupakan bentuk provokasi dari para pengganggu keamanan.
"Teriakan-teriakan massa itu kan muncul orang Islam ditembak oleh aparat dan sebagainya. Ini nggak ada kaitannya dengan bela Islam, lebih banyak menurut saya adalah provokasinya," kata Mahfud.
Mahfud lantas menjelaskan, dirinya mendapatkan informasi bahwa penembakan itu bukan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Menurutnya, senjata tersebut justru berasal dari tengah kerumunan massa.
Baca: Dua Penumpang Ambulans Pembawa Batu Disebut Pengurus Gerindra Tasikmalaya
"Menurut informasi yang saya dengar dari kedua belah pihak memang yang sekarang terjadi korban itu bukan menggunakan senjata yang digunakan oleh polisi. Itu senjata dari tengah-tengah kerumunan massa juga," ujar Mahfud.
"Sehingga masyarakat jangan terprovokasi seakan-akan polisi yang menembaknya," kata dia.
Penulis : Kristian Erdianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul : Waketum PAN: Dalang Kerusuhan 22 Mei Bisa Saja Bagian dari Elite Politik