Suhendra juga menyoroti kebijakan Presiden BJ Habibie pada 1999 yang mengizinkan referendum Timor Timur yang ia nilai keliru, karena hanya menyerahkan nasib wilayah yang kini menjadi negara tersendiri dengan nama Timor Leste itu hanya kepada rakyat Timor Timur, bukan kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan.
“Kalau nasib wilayah provinsi diserahkan hanya kepada rakyat provinsi masing-masing, ego kedaerahan akan muncul, sehingga Aceh pun bisa demikian, nasibnya akan seperti Timor Timur yang lepas dari Indonesa. Semestinya referendum untuk sebuah wilayah itu melibatkan seluruh rakyat Indonesia,” urainya sambil mengutip teori global paradoks di mana di era globalisasi ini ada kecenderuangan masyarakat justru ingin menjadi entitas yang lebih kecil dan eksklusif berdasarkan politik identitas seperti suku, agama, dan wilayah.
Suhendra mengaku siap mengerahkan 23 juta anggotanya yang tersebar di Sumatera, Sulawesi dan Maluku untuk menolak referendum Aceh.
“Kita siap show of force untuk menolak referendum Aceh demi keutuhan NKRI. Lepasnya Timor Timur jangan sampai terjadi lagi di wilayah lain,” tandas pria low profile yang juga Ketua Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) ini.
Sebelumnya, Muzakir Manaf yang juga mantan Ketua Komite Peralihan Aceh melontarkan wacana referendum Aceh dengan opsi lepas atau tetap menjadi bagian RI.
Ia khawatir Indonesia akan dijajah asing, dan juga kecewa karena banyak poin dalam Perjanjian Helsinki antara GAM dan RI yang tak dilaksanakan pemerintah RI.
Secara nasional pasangan capres dan cawapres yang didukung Partai Aceh, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kalah dari pasangan petahana Joko Widodo-KH Maruf-Amin dalam Pilpres 2019 dengan perolehan suara 44,50% berbanding 55,50%.
Namun di Aceh, Prabowo-Sandi menang dengan angka 81%. (*)