TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persoalan hukum yang dialami Komisaris Utama PT Hosion Sejati, Kang Hoke Wijaya, dinilai bakal menjadi preseden buruk dalam dunia usaha.
"Pemegang saham di sebuah perusahaan dengan gampang dikriminalkan bahkan dijebloskan dalam tahanan tanpa melalui prosedur yang sesuai undang-undang. Ini sangat meresahkan," kata Nico SH MH, kuasa hukum Kang Hoke Wijaya dalam keterangannya, Kamis (13/06/2019).
Pendapat lawyer dari Kantor Hukum Lex Dafaniro itu merujuk pada persoalan hukum yang dialami kliennya, Kang Hoke, pemilik dan pemodal perusahaan yang bergelut di bidang alutsista TNI.
Ia diadili lantaran dituduh menggelapkan uang perusahaan dan pencucian uang.
"Dakwaan yang disampaikan jaksa terkesan dipaksakan, bahkan diduga melanggar peraturan perundang-undangan yang melekat dalam dunia usaha," kata Nico tentang dakwaan yang disusun Tim penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu.
Perkara Kang Hoke saat ini sudah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca: 90 Organisasi Menolak Kriminalisasi Terhadap Penulis Balairung Press yang Ungkap Pelecehan Seks
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Agustinus Setyawahyu mulai mengadili perkara ini sejak Selasa (28/5/2019).
Pada Selasa (11/6/2019), adalah giiliran tim kuasa hukum Kang Hoke menyampaikan eksepsi terhadap dakwaan jaksa.
Dalam pembacaan eksepsi, hanya hadir satu orang jaksa pengganti di persidangan.
Menurut Nico, jaksa menyusun dakwaan tidak sesuai dengan pasal pasal 143 ayat (2) huruf B KUHAP, yaitu dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menyebutkan tindak pidana yang dilakukan Kang Hoke.
Selain tak jelas tindak pidananya, bahkan dalam dakwaan juga jaksa tidak jelas menentukan status terdakwa dalam perusahaan.
"Apakah jabatannya komisaris atau direktur keuangan? Jadi dakwaannya sangat kabur," katanya.
Adapun persoalan yang paling fatal, kata Nico, surat dakwaan itu pun belum waktunya diajukan ke persidangan.
"Sebab belum melalui tahapan-tahapan prosedur yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 138 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)," katanya.
"Mekanisme yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah pemeriksaan terhadap perseroan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Permohonan tersebut dapat diajukan oleh 1/10 pemegang saham, pihak lainnya dan kejaksaan untuk kepentingan umum. Namun jaksa belum menjalankan mekanisme ini," katanya.
Bahkan, kata dia, si pelapor dalam keterangannya kepada penegak hukum dengan jelas menyebutkan tidak pernah ada upaya hukum yang ditempuh oleh Hosion Sejati, juga belum pernah melaksanakan audit internal maupun audit eksternal.
"Jadi karena penyidik dan jaksa tidak menerapkan pasal 138 UUPT ini, maka sebetulnya dakwaan ini terlalu premature," kata Nico.
Apalagi, klaim Nico, antara Kang Hoke dan si pelapor juga sudah meneken perjanjian berdamai pada 1 Februari 2019.
Namun setelah si pelapor dilepaskan dari tahanan, malah meneruskan perkara Kang Hoke untuk diproses lebih lanjut.
"Hal itu disambut baik oleh penyidik Ditpideksus Polri maupun jaksa yang tetap memproses Kang Hoke. Tentu saja Kang Hoke menjadi pihak yang dizolimi," katanya.
Bahkan, ia menambahkan permohonan penangguhan penahanan untuk Kang Hoke tak pernah dikabulkan pihak Ditpideksus dan kejaksaan. "Ini kan orang sudah tua. Kenapa begitu teganya mereka. Ada apa sebetulnya?" ujarnya.
Selain itu, kata Nico, penyidik dari Dipideksus terkesan hanya menerima laporan sepihak dan tidak berkoordinasi antar sesama penyidik.
Bukan hanya itu, ia menyebutkan bahwa penyidik Ditpideksus dalam perkara ini mengabaikan Penerapan Penyelesaian tanpa melalui proses penuntutan dan peradilan telah diatur di dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 7 tahun 2018 (SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018) tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Dari perjalanan perkara Kang Hoke itulah, Nico menilai, proses penerapan hukum seperti itu sangat merisaukan pengusaha dalam berinvestasi.
"Siapapun bisa melaporkan pemilik saham dan dikriminalkan. Tidak sehat dalam dunia usaha. Padahal kita tahu Presiden Joko Widodo sedang berjuang untuk menarik para investor masuk ke Indonesia tujuannya agar perekonomian tumbuh sehat, namun di sisi lain ada oknum aparat penegak hukum justru bertindak meresahkan dunia usaha," katanya.