TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Banyak pihak mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo membuka pintu selebar-lebarnya bagi partai politik oposisi untuk bergabung bersama partai politik pendukung pemerintah periode 2019-2024.
Terutama bagi Partai Gerindra yang dipimpin rival Jokowi dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto.
Sebagaimana dikutip dari wawancara khusus dengan Jakarta Post, Rabu (11/6/2019) kemarin, Jokowi mengaku, membuka diri bagi siapa saja yang ingin bekerja sama membangun negara.
Pengamat politik Leo Agustino berpendapat tawaran Jokowi itu disampaikan dalam rangka menurunkan tensi politik yang tengah tinggi setelah pilpres 2019 berlalu.
"Ajakan Pak Jokowi harus dipahami dalam konteks ini. Artinya, Pak Jokowi berharap semua pihak tidak lagi “berkelahi” untuk hal-hal yang tidak elementer," ujar Leo Agustino kepada Tribunnews.com, Kamis (13/6/2019).
Baca: Nama SBY Disebut Dalam Sidang Sengketa Pilpres 2019 di MK
Selain itu mengikut logika Jokowi, membangun negara secara bersama-sama di balik tawaran bergabungnya partai politik oposisi ke koalisi pemerintahan Jokowi-KH Ma'ruf Amin.
"Walau sebenarnya kita tetap membutuhkan penyeimbang bagi kerja-kerja pemerintah. Tapi benar bahwa membangun negara akan jauh lebih efektif apabila elemen-elemen politiknya tidak berpecah, tapi bersatu," tegasnya.
Apakah mungkin Gerindra bergabung?
Menurut dia, Prabowo tidak akan mengambil tawaran Jokowi tersebut.
Artinya Gerindra akan tetap berada di luar pemerintah atau mengambil posisi sebagai oposisi.
"Kelihatannya Prabowo agak berkeras untuk tidak bergabung ke dalam koalisi 01. Meski pernyataannya jauh lebih teduh pasca kepulangannya dari luar negeri kemarin," jelas Leo Agustino.
Begitu juga dengan PKS masih berkukuh untuk menjadi oposisi bagi pemerintah.
"Saya kira ini keputusan yang ideal bagi sistem demokrasi Indonesia," ucapnya.
Senada, Pengamat politik Ray Rangkuti juga mengapresiasi niat Jokowi tersebut.