Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai NasDem DPR RI akan mengusulkan revisi UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Hal itu diungkapkan anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Muchtar Luthfi A. Mutty, dalam Focus Group Discussion (FGD) di ruang rapat Fraksi NasDem Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta.
Ia mengatakan ada urgensi yang cukup mendesak untuk melakukan perubahan UU tersebut.
“Kami sudah pada posisi menyampaikan permasalahan yang dihadapi riil, UU itu (No.12 tahun 2011-RED) kurang memberikan efektifitas dalam pembentukan perundang-undangan,” kata Muchtar dalam pembukaan FGD, Kamis (4/7/2019).
Baca: Hilda Vitria Tak Hadir dalam Sidang Terakhir Kriss Hatta
Baca: Musisi Jason Ranti Tak Bisa Nolak Perankan Pidi Baiq di Film Koboy Kampus
Baca: Nagita Slavina Bereaksi Ini Ditanya Punya Berlian Berapa Karat, Raffi Ahmad: Beli Palsu Malu Gak?
Ia mengungkapkan ada beberapa permasalahan tidak efektifnya UU tersebut.
Pertama, DPR tidak mengenal sistem carry over pembahasan UU.
Belum terakomodirnya ketentuan ini membuat UU yang belum selesai dibahas, akan dibahas tahun berikutnya dimulai dari nol.
Kedua, DPR sulit melakukan pemantauan atas UU yang sudah disahkan.
“Hampir tidak pernah dilakukan pemantauan UU, padahal pemantauan bagian dari legislatif,” jelas Muchtar yang juga bertugas di Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI.
Ketiga, lanjutnya, ada keadaan yang tidak inline dalam penyelesaian pembahasan UU di DPR.
“Misalnya, ada beberapa RUU inisiatif DPR yang sudah disahkan di paripurna, surat presiden juga sudah keluar, tetapi DIM tidak muncul sampai penghujung masa pemerintahan ini. Kondisi ini membuat pembahasan RUU tidak dapat berjalan,” jelasnya.
Keempat, ada beberapa UU yang setelah dilakukan judicial review atau JR di Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah dibatalkan, baik pasal maupun keseluruhan UU, tidak ditindaklanjuti oleh DPR.
“Ini kan berarti apa yang disampaikan oleh MK tidak disampaikan oleh DPR ke rakyat,” terangnya.
Kelima, ada beberapa RUU yang telah memiliki naskah akademik, tetapi tidak berlanjut karena permasalahan sinkronisasi.
“Kami melihat perlu adanya ketentuan yang memberikan batas waktu diberikan kepada DPR, dalam membentuk sinkronosasi. Sehingga, jika melewati batas waktu itu harus dikeluarkan dari program legislatif nasional,” tutur anggota Komisi II DPR RI itu.
Dalam kesempatan yang sama, praktisi dan pakar hukum dari Universitas Brawijaya Suhariyono AR mengungkapkan bahwa revisi atas UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu secara komprehensif dilakukan.
UU tersebut selama ini menjadi acuan dalam pembentukan sebuah rancangan undang-undang dinilai tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang secara tegas mengamanatkan bahwa tata cara pembentukan undang-undang seharusnya diatur dengan undang-undang tersendiri.
“Itu ada di dalam Pasal 22A UUD 1945. Ternyata UU ini sudah dianggap tidak sesuai setelah 8 tahun hidup,” paparnya.
Ia mengungkapkan, revisi atas UU tersebut harus dipikirkan apakah akan merubah sebagian, maka disebut perubahan. Tetapi, jika ingin mengganti keseluruhan, maka berarti harus disebut sebagai penggantian.
“Saya sepakat bahwa UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus direvisi. Jika dirasa banyak dikeluhkan membuat tidak efektif pembahasan perundang-undangan di DPR, maka harus diubah, tetapi silahkan apakah mau perubahan atau penggantian,” tegasnya.
Suhariyono mengatakan, perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
memiliki momentum yang tepat. Ia mengatakan bahwa saat ini juga ada keinginan dari pemerintah untuk membenahi sistem hukum.
“Pemerintah saya lihat juga memiliki komitmen untuk menyelesaikan undang-undang dan peraturan yang di sana-sini mengalami tumpang tindih. Ini memang terjadi sejak dimulainya perubahan hukum ketata negaraan dan desentralisasi,” pungkasnya.