TRIBUNNEWS.COM - Masih ingat dengan korban kekerasan seksual di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril Maknun?
Kabar terbaru, upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril pada (3/1/2019) ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara MA Hakim Agung Andi Samsan Nganro melalui keterangan tertulis pada Jumat (5/7/2019).
"Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali pemohon atau terpidana Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Dengan ditolaknya permohonan PK pemohon atau terpidana tersebut, maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku," kata Andi.
Baca: Kasus Pencabulan Anak Asuh di Bekasi, H Cabuli EPJD Sejak 2018 Hingga Sempat Kelabui Tetangga
Berikut fakta-fakta seputar ditolaknya PK baiq Nuril sebagaimana dirangkum Tribunnews.com, Jumat (5/7/2019):
1. Kronologi Kasus
Kasus ini bermula pada pertengahan 2012.
Saat itu, Baiq yang berstatus guru honorer di SMAN7 Mataram ditelepon oleh Kepala Sekolahnya, Muslim.
Dalam percakapan telepon itu, Muslim justru bercerita tentang pengalaman seksualnya bersama wanita lain yang buka istrinya.
Percakapan itu juga mengarah pada pelecehan seksual pada Baiq.
Baiq pun merekam percakapan itu dan rekaman itu diserahkan pada rekannya, Imam, hingga kemudian beredar luas.
Atas beredarnya rekaman itu, Muslim kemudian melaporkan Baiq ke polisi karena dianggap telah membuat malu keluarganya.
Di Pengadilan Negeri Mataram, Baiq divonis bebas.
Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi dan Mahkamah Agung memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta karena dianggap melanggar UU ITE.
Namun, Kejaksaan Agung memutuskan untuk menunda eksekusinya ke penjara.
Kini dengan adanya penolakan PK membuat Baiq dihantui kembali segera dijebloskan ke dalam bui.
2. Tanggapan Kuasa Hukum
Kuasa Hukum Baiq, Joko Jumadi mengaku telah mendapat informasi bahwa PK kliennya ditolak oleh MA.
"Kami dapat informasinya pada pagi tadi. Tapi, kami belum dapat salinan putusannya," kata Joko ketika dikonfirmasi, Jumat (5/7/2019).
Joko Jumadi mengatakan pihaknya akan tetap mengajukan amnesti bagi kliennya ke Presiden Joko 'Jokowi' Widodo.
"Kami dari kuasa hukum mendorong Presiden agar mengeluarkan amnesti untuk Nuril," katanya.
Tim kuasa hukum, lanjut Joko, tengah mengupayakan agar amnesti bagi Baiq Nuril dikabulkan.
"Kami masih mengupayakan langkah-langkahnya (untuk mendapat amnesti)," ujarnya.
3. Tak Ambil Opsi Grasi
Sebelumnya, Baiq Nuril telah menyatakan tidak akan mempertimbangkan opsi untuk mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi.
Hal itu lantaran, secara prosedur, Nuril diminta untuk mengakui perbuatannya telah mencemarkan nama baik mantan Kepala SMAN 7 Mataram yang bernama Muslim.
Usulan agar Nuril mengajukan grasi disampaikan oleh Presiden Jokowi di Lamongan, Jawa Timur pada November 2018 lalu.
Baca: MA Tolak PK Baiq Nuril, Fahri Hamzah Salahkan UU ITE
Langkah itu, diamini oleh Direktur Eksekutif organisasi Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju.
Usulan Presiden Jokowi, kata Anggara, jelas bertolak belakang dengan keinginan Nuril.
"Kalau Presiden mengusulkan agar mengajukan grasi, maka itu sama saja meminta Nuril meminta maaf terlebih dahulu atas perbuatan yang tidak ia lakukan, lalu memohon pengampunan," kata Anggara kepada pewarta, Jumat (5/7/2019).
Sementara, sejak awal, ICJR justru mendorong agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu memberikan amnesti atau pengampunan murni.
Dorongan agar Presiden Jokowi mengabulkan amnesti bagi Baiq Nuril muncul di media sosial.
Sebuah petisi yang diinisiasi oleh Erasmus Napitulu pada akhir November 2018 lalu rupanya direspons luas.
Dari target 300 ribu tanda tangan, petisi itu telah ditanda tangani oleh 241.170 orang.
Ia menilai apa yang menimpa Nuril merupakan tindak kriminalisasi.
Sebab, di tingkat peradilan negeri, majelis hakim menyatakan dia tidak terbukti telah menyebarluaskan rekaman pembicaraan asusila antara ia dan mantan Kepala SMAN 7, Muslim.
"Atas dasar tindak kriminalisasi yang tidak berdasar itu, maka dari itu kami mempetisi Presiden Joko Widodo untuk segera menyelamatkan Baiq Nuril dari jerat pidana dengan segera memberikan amnesti terhadap yang bersangkutan," tulis Erasmus.
4. Respons Jokowi
Presiden Joko Widodo enggan mengomentari putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal.
"Saya tidak ingin komentari apa yang sudah diputuskan mahkamah karena itu pada domain wilayahnya yudikatif," kata Jokowi di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7/2019).
Namun, Jokowi berjanji menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan Kepala Negara.
"Nah nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki. Saya akan bicarakan dulu dengan Menkumham, Jaksa Agung, Menko Polhukam, apakah amnesti atau yang lainnya," kata dia.
Jokowi mengatakan, sejak kasus ini mencuat, perhatiannya tidak pernah berkurang.
Kendati demikian, ia menghormati putusan MA.
Adapun MA menolak PK Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal sehingga tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta
5. Tanggapan Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memberi tanggapan atas ditolaknya PK Baiq Nuril.
Fahri mengatakan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) sebaiknya ditarik oleh pemerintah karena sejak awal merugikan kebebasan masyarakat.
Menurut Fahri Hamzah, UU ITE menyebabkan masyarakat kesulitan untuk membela diri.
"UU ITE itu salah kaprah, baiknya pemerintah menarik kembali pasal karet di UU ITE, sebab itu merugikan kebebasan masyarakat untuk membela diri," kata Fahri saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Baiq Nuril mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh mantan kepala sekolah tempatnya bekerja.
Dia sempat merekam pembicaraannya dengan mantan kepala sekolah tersebut, dan memberikan kepada Imam Mudawin sebagai saksi, sehingga rekaman tersebut tersebar.
Dalam perjalanan proses hukum yang dijalani Baiq Nuril, MA menolak PK yang diajukan Baiq sehingga dirinya dijatuhi hukuman sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Fahri menilai, putusan MK mengganggu rasa keadilan di tengah masyarakat.
Menurut dia, seseorang yang ingin membela diri dengan memiliki bukti berupa rekaman, malah terkena kasus hukum.
"Di atas mimbar keadilan sudah enggak kena, bagaimana orang itu dilecehkan, pelecehan direkam, justru dia yang terlecehkan kena kasus. Itu enggak masuk akal. Maka saya kira, kalau saya jadi pemerintah, UU (ITE) itu tidak ada di republik," kata mantan politisi PKS ini.
(Tribunnews.com/Daryono) (Kompas.com/Haryanti Puspa Sari/Ihsanuddin)