TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, memastikan kliennya akan secara resmi mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Menurut Joko, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan permohonan amnesti itu dan akan diajukan pada pekan depan.
"Kita akan coba pekan depan, hari Kamis atau Jumat untuk proses pengajuan amnesti itu," kata Joko saat dihubungi, Sabtu (6/7/2019).
Joko berharap, Presiden mau mengabulkan permohonan amnesti nantinya.
Apalagi, Presiden juga sudah menyatakan mempersilahkan Baiq Nuril mengajukan amnesti dan berjanji akan menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Negara.
"Presiden sudah membuka diri untuk pengajuan," kata dia.
Joko menambahkan, pada pekan depan, pihaknya juga akan mendatangi DPR untuk berkonsultasi dan meminta dukungan terhadap masalah hukum yang dihadapi Baiq Nuril.
Joko berharap DPR mendukung Baiq Nuril mengajukan amnesti. Joko menuturkan, Baiq Nuril sangat kecewa dengan putusan MA tersebut.
Karena dari tahun 2012 kasus ini berproses sampai dengan 2019, Baiq Nuril merasa belum mendapat keadilan.
Ia yang menjadi korban pelecehan seksual oleh atasannya justru menjadi dijerat dalam kasus perekaman ilegal.
"Dia masih waswas, deg-degan dan klimaksnya kemarin. Ketika harus menerima fakta MA tidak bergeming sedikitpun mememinta keadilan," ujarnya.
Selain itu, Joko juga khawatir adanya efek buruk dari putusan MA ini.
Misalnya, korban pelecehan takut melaporkan tindakan hukum dari kasus yang dialaminya ini.
"Yang lebih mengecewakan bukan vonisnya Baiq Nuril tapi efek putusan itu ke korban-korban yang tidak berani untuk melapor. Itu yang sebenarnya kekhawatiran yang lebih besar," kata dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi berjanji akan menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan amnesti.
Namun terlebih dahulu Jokowi akan berkonsultasi dengan Jaksa Agung Prasetyo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto.
"Nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki," katanya.
Jokowi mengatakan, terus menaruh perhatian dari kasus yang membelit mantan guru honorer SMAN 7 Mataram tersebut.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepsek M pada 2012.
Dalam perbincangan itu, Kepsek M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril.
Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut. Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram.
Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE. Belakangan, Baiq Nuril mengajukan PK, tetapi ditolak oleh MA.(*)
Ditempat terpisah koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan amnesti kepada Ibu Baiq Nuril.
Koalisi ini terdiri dari LBH Pers, ICJR, MaPPI FH UI, LBH Apik, Elsam, AJI Jakarta, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist Discussion Group), PurpleCode Collective, Perempuan Lintas Batas (Peretas), Hollaback! Jakarta, Paku ITE, Safenet dan KPI Wilayah DKI Jakarta
Bestha Inatsan (Peneliti MaPPI FH UI) bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril merasa Amnesti merupakan harapan terakhir Ibu Nuril agar dirinya tidak dipenjara dan harus dipisahkan dari keluarganya atas keberaniannya untuk melawan pelaku kekerasan seksual yang dialaminya.
• Kajari Mataram Sebut Tak Ada Pelecehan Seksual tapi Mengapa Baiq Nuril Ditahan Karena Konten Asusila
"Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Baiq Nuril juga menagih janji DPR untuk membentuk Tim Eksaminasi perkara ini. Dengan membentuk Tim Eksaminasi, akan terlihat bagaimana kasus ini tidak layak untuk diadili dan diproses, sehingga DPR dapat memberikan dorongan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Ibu Nuril," ucap Bestha Inatsan dalam keterangannya, Sabtu (6/7/2019).
Bestha Inatsan menilai penolakan perkara PK Ibu Nuril mempersulit upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual berani menyuarakan pengalaman kekerasannya dan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan amnesti kepada Ibu Nuril
Diketahui Jumat, 5 Juli 2019 kemarin Mahkamah Agung (MA) melalui juru bicaranya menyatakan bahwa perkara Peninjauan Kembali (PK) Pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak.
• Baiq Nuril Fokus pada Kasus Pelecehan Seksual oleh Mantan Kepala SMAN 7 Mataram
Dengan ditolaknya PK Ibu Nuril, maka MA telah menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Ibu Nuril, yakni pidana penjara 6 bulan dan denda 500 juta.
Penolakan dari Mahkamah Agung ini, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril, sangatlah mengecewakan.
Pasalnya, kasus Ibu Nuril yang melakukan perekaman terhadap kekerasan seksual yang terjadi terhadap dirinya, merupakan perbuatan yang seharusnya didukung dan atas kejadian yang dialaminya, Ibu Nuril seharusnya diberikan perlindungan oleh negara.
"Sayangnya, negara justru menjerat Ibu Nuril dengan pidana penjara, karena dianggap telah melakukan distribusi informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) UU ITE," ujarnya.
Mahkamah Agung, lanjut Bestha Inatsan seharusnya dapat lebih cermat dan berperspektif dalam menilai kasus ini, mengingat MA sendiri telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam PERMA ini, disampaikan bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan gender dan non diskriminasi dalam proses identifikasi fakta persidangan.
Sayangnya, hal inilah yang kemudian gagal untuk dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidaanaan Ibu Nuril.
• Grasi Buat Kasus Baiq Nuril Tidak Mungkin Bisa Diberikan Presiden, Ini Penjelasan Ketua MaPPI FHUI
Tidak hanya kegagalan dalam melihat kasus Ibu Nuril ini sebagai sebuah kasus kekerasan seksual yang tidak layak untuk diadili, MA, merujuk pada putusan kasasi dalam perkara ini, justru gagal dalam melihat pertanyaan hukum yang harus dijawab di dalam perkara berkaitan dengan pembuktian.
Perlu diketahui, bahwa alat bukti elektronik yang diajukan di dalam persidangan kasus ini, bukan merupakan alat bukti elektronik asli, melainkan hasil penggandaan berulang kali tanpa adanya rekaman asli yang dapat menguatkan orisinalitas dari alat bukti ini.
Korban kekerasan seksual harus diberikan ruang yang aman untuk berbicara, menyampaikan kasusnya, dan memperoleh keadilan atas apa yang terjadi kepadanya.
"Jangan sampai karena kasus ini, Ibu Nuril- Ibu Nuril lain justru semakin takut untuk mengutarakan apa yang dialaminya dan oleh karenanya pelaku kekerasan seksual semakin leluasa dalam bertindak sewenang-wenang," tegasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pekan Depan, Baiq Nuril Ajukan Amnesti ke Presiden Jokowi"