News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Kasus Baiq Nuril

Komnas Perempuan Nilai MA Tidak Gunakan Pedomannya dalam Jatuhkan Putusan Kasus Baiq Nuril

Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, di kantor Komnas Perempuan, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (8/7/2019)

Komnas Perempuan Nilai MA Tidak Gunakan Pedomannya dalam Jatuhkan Putusan Kasasi untuk Baiq Nuril

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi maupun peninjauan kembali terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril.

Komnas Perempuan menilai, MA tidak menggunakan Perma RI Nomor 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan kembali kasus Baiq Nuril.

Baca: Sore ini, Menkumham Terima Baiq Nuril dan Kuasa Hukumnya

"Meski menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di intervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, di kantor Komnas Perempuan, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (8/7/2019).

Budi Wahyuni menilai padahal Perma tersebut adalah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan.

"Padahal, PERMA 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. PERMA ini adalah sebuah langkah alimiasi dalam menciptakan kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum," kata Budi.

Menurutnya, pengabaian atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh Mahkamah Agung dan ketidakmampuan POLRI dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pihaknya juga menilai, kondisi ini juga disebabkan keterbatasan sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual sehingga memberikan peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan Seksual.

Tidak hanya itu, Budi nengatakan keterbatasan sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum Acara) Sebagai standar yang harus dijalankan peradilan, sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan.

"Termasuk dalam hal ini, keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya kepada perempuan," kata Budi.

Untuk itu, Komnas Perempuan meminta agar Hakim Pengawas Mahkamah Agung (MA) mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan PERMA 3/2017 di lingkup pengadilan, sejak dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menambahkan, menurutnya hakim harus menggunakan Perma tersebut karena lingkup dari perma tersebut ada tiga yakni saksi, korban, dan pelaku.

"Pelaku ini sebagai terdakwa maksudnya. Artinya Perma ini harus digunakan ketika hakim mengadili kasus baik perempuan itu duduk sebagai saksi, korban yang dalam proses hukum berarti dia sebagai saksi, dan ketika dia duduk sebagai terdakwa. Artinya Perma ini seharusnya dilakukan dalam segala situasi bukan hanya ketika perempuan sebagai korban," kata Nurherwati.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini