Populasi sebanyak 600 industri besar dan 700 industri kecil di industri daur ulang investasinya mencapai Rp 5,15 triliun.
Mereka tersebar di Jawa sebanyak 85% dan luar Jawa 15%, dengan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton.
Industri ini menyerap 3,36 tenaga kerja langsung dan tidak langsung, termasuk para pemulung dan pengepul.
Dia mencontohkan anggota ADUPI di Desa Trosobo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang sukses mendaur ulang plastik kemasan sachet menjadi talang air dan tali rafia.
“Tapi, ini kan butuh support dari pemerintah juga untuk pemasaran produk daur ulangnya,” ujarnya.
Edi Rivai, Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS), mengutarakan bahwa konsumsi plastik di Indonesia masih jauh lebih rendah disbanding negara lain.
Artinya, treatment yang dilakukan terhadap sampah plastiknya juga harus berbeda.
“Jadi masih banyak peluang-peluang yang bisa kita kembangkan di Indonesia dengan menggunakan material plastik ini,” ujarnya.
Menurut Edi, yang menjadi masalah selama ini adalah pengumpulan sampah plastik yang tidak sempurna.
“Regulasi kita tidak memperbaiki waste management. Aturan sudah banyak, tapi enforcement-nya kurang,” katanya.
Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Rachmat Hidayat, menyayangkan adanya pelarangan penggunaan plastik kemasan di beberapa kementerian dan daerah.
Menururtnya, sebenarnya dasar hukum yang terkait pengelolaan sampah sudah lengkap dan sudah merinci tanggung jawab masing-masing stake holder.
“Cuma yang kita bingung, kok yang dibidik itu hanya satu stake holder saja, yaitu pelaku usaha. Miris, ini seperti penyakit menular, kantor-kantor pemerintah melarang produk-produk yang menggunakan plastik,” ucapnya.
Menurut Rachmat, problem sebenarnya adalah sampah bertebaran di mana-mana sampai ke laut yang berarti orang buang sampah sembarangan.
"Mestinya, kalau itu masalahnya, yang harus dibenahi kan masyarakat yang buang sampahnya, bukan pelarangan penggunaannya,” ucapnya.