TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 seharusnya diisi kalangan profesional dari berbagai latar belakang profesi penegak hukum.
Dia mengkritisi rekam jejak 192 calon pimpinan (capim) KPK yang lolos seleksi administrasi. Dia menilai capim KPK dari berbagai latar belakang profesi penegak hukum itu memberikan gambaran bagus.
“Dari Polri bagus, dari Kejaksaan juga bagus. Calon dari LSM, tokoh masyarakat, akademisi, bahkan ada hakim ad hoc tipikor juga bagus,” kata Boyamin, kepada wartawan, Sabtu (13/7/2019).
Baca: ICW Sesalkan Pansel KPK Abaikan Harta Kekayaan Pendaftar dari Aparatur Negara
Baca: 192 Orang Lolos, Pansel KPK Diingatkan agar Selektif Pilih Calon Pimpinan
Dari unsur Polri, kata dia, ada sejumlah nama yang harus dipertimbangkan untuk menjadi komisioner KPK, seperti Irjen Polisi Firli, Brigjen Polisi Ahmad Wiyagus dan Irjen Pol. Ike Edwin yang lebih tepat untuk memimpin KPK periode 2019-2023.
Selain itu, dari unsur penegak hukum lainnya, seperti hakim dan hakim ad hoc tipikor juga layak dikedepankan.
"Juga bagus dari unsur hakim adalah Binsar Gultom (hakim pemutus kasus Jessica Kumala Wongso,-red) dan Budhi Kuswanto (hakim ad hoc tipikor pengadilan negeri pontianak,-red)" ujarnya.
Dia membandingkan dengan sosok tiga petahana pimpinan KPK yang kembali mendaftar dan lulus seleksi administrasi.
Menurut dia, mereka sudah tidak layak dipilih untuk memimpin lembaga antirasuah itu.
"Tiga pimpinan KPK itu malah tidak jelas, enggak punya prestasi. Mereka malah terkesan orang-orang yang mencari pekerjaan," tambah Boyamin.
Sebelumnya, tiga komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid IV kembali mendaftar sebagai calon pimpinan lembaga anti-rasuah periode 2019-2023.
Mereka adalah Alexander Marwata, Laode M Syarif, dan Basaria Panjaitan. Ketiganya mendaftar tepat di hari terakhir masa pendaftaran, Kamis (4/7/2019) kemarin.
Untuk diketahui, Pansel Capim KPK telah merilis dari 376 pendaftar, hanya 192 yang lolos seleksi administrasi.
Komposisi 192 pendaftar itu yakni 180 pria dan sisanya 12 perempuan.
Berdasarkan latar belakang profesi, akademisi atau dosen ada 40 orang , advokat/konsultan hukum ada 39 orang, korporasi (swasta, BUMD, BUMN) 17 orang.
Jaksa dan hakim yang lolos 18 orang, anggota TNI tidak ada yang lolos, anggota Polri 13 orang lolos, auditor 9 orang, komisioner/pegawai KPK 13 orang, lain-lain (PNS, pensiunan, wiraswasta, NGO, pejabat negara) ada 43 orang.
Kata Abraham Samad
Sebelumnya, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai kursi kepemimpinan komisi anti-rasuah seharusnya diisi oleh staf internal KPK yang sudah lama bekerja.
“Saya lebih mendorong staf-staf internal KPK yang sudah lama mengabdi dan berjuang di KPK untuk jadi pimpinan KPK,” ujar Abraham Samad kepada pewarta, Senin (8/7/2019).
Baca: Menurut Abraham Samad, 3 Pimpinan KPK yang Ikut Seleksi Lagi Kualitasnya Biasa-biasa Saja
Abraham Samad juga menanggapi soal Laode M Syarif, Basaria Panjaitan, dan Alexander Marwata, yang mendaftar lagi dalam proses seleksi calon pimpinan KPK jilid V (2019-2023).
Saat ditanya soal kualitas ketiga pimpinan KPK itu, menurut Abraham Samad mereka biasa saja.
“Kualitasnya biasa-biasa saja,” katanya.
Menurutnya, ketiga orang itu sebaiknya memberikan kesempatan kepada para staf internal dan anak muda, untuk mengisi kursi pimpinan yang akan mereka tinggalkan kurang dari enam bulan lagi.
“Sebaiknya kita sebagai pimpinan dan mantan pimpinan KPK, memberikan kesempatan ke anak-anak muda staf internal KPK yang sudah lama mengabdi di KPK."
"Diberikan ruang bagi mereka untuk mendaftar dan jadi pimpinan KPK,” tutur Abraham Samad.
KPK, lanjutnya, membutuhkan pimpinan yang berintegritas sempurna.
Saat ditanya apakah Basaria Panjaitan, Alex Marwata, dan Laode M Syarif sudah memenuhi kriteria tersebut, Abraham Samad enggan menjawabnya.
“Pimpinan yang berintegritas paripurna yaitu orang yang jujur dan berani,” ucapnya.
Berikut ini profil tiga komisioner KPK tersebut, dikutip Wartakotalive dari laman kpk.go.id:
Alexander Marwata
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Februari 1967 ini adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ia bersekolah di SD Plawikan I Klaten (1974-1980), SMP Pangudi Luhur Klaten (1980-1983), dan SMAN 1 Yogyakarta (1983-1986).
Ia lalu melanjutkan pendidikan tingginya, di D IV di Jurusan Akuntansi STAN Jakarta.
Tahun 1995, ia melanjutkan sekolahnya lagi S1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.
Sejak tahun 1987-2011, Alexander Marwata berkarier di Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Pada tahun 2012, ia kemudian menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Laode M Syarif
Lahir di Lemoambo, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, 16 Juni 1965, Laode M Syarif mengawali karier di Makassar sebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, sejak tahun 1992.
Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan pada program Master of Laws (LLM) di Faculty of Law, Queensland University of Technology (QUT) Brisbane.
Lalu, melanjutkan PhD program di Sydney University, School of Law, dengan program kekhususan Hukum Lingkungan Internasional.
Selain menjadi dosen pada Fakultas Hukum UNHAS, dia juga aktif sebagai pembicara/dosen tamu di Sydney University Law School, dan National University of Singapore Law School.
Juga, di Cebu University Law School, dan University of South Pacific, Vanuatu.
Di samping itu, dia juga aktif di berbagai organisasi nasional dan internasional.
Di antaranya, Partnership for Governance Reform in Indonesia, IUCN Academy of Environmental Law, dan UNODC-Anti-Corruption Academic Initiative (ACAD).
Dia banyak mengembangkan sejumlah program capacity building untuk bidang anti korupsi, good governance, reformasi peradilan, dan penegakan hukum.
Baik di lingkungan di Kepolisian, Kejaksaan, Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta aktif mengajar kode etik dan hukum lingkungan di Mahkamah Agung.
Basaria Panjaitan
Wanita pertama yang menjadi komisioner KPK ini lahir di di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 20 Desember 1957.
Basaria adalah Sarjana Hukum lulusan Sepamilsukwan Polri I Tahun Angkatan 1983-1984.
Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Akuntansi Universitas Jayabaya, Jakarta.
Tahun 2003, Basaria masuk Sekolah Calon Perwira (Sepa) Polri di Sukabumi dan lulus sebagai polwan berpangkat Ipda.
Setelah lulus, ia langsung ditugaskan di Reserse Narkoba Polda Bali.
Kemudian, ia diangkat menjadi Kabag Serse Narkoba Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 1997-2000, lalu Kabag Narkoba Polda Jabar (2000-2004).
Lantas, ia bertugas sebagai Dirserse Kriminal Polda Kepulauan Riau tahun 2006-2008. Selama bertugas, Basaria mengambil S2 di Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia.
Jenderal bintang dua ini juga pernah menjabat sebagai Kapusprovos Divpropam Polri pada 2009, Karo Bekum SDelog Polri pada 2010, dan menjadi Widyaiswara Madya Sespim Polri Lemdikpol.
Basaria sempat menyambi sebagai pengajar di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri di Lembang.
Setelah bertugas di Batam, Basaria ditarik ke Mabes Polri, menjadi penyidik utama Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim. (Ilham Rian Pratama/glery lazuardi)