Sebelumnya, Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril.
Nuril dinyatakan terbukti bersalah atas kasus penyebaran informasi berkonten kesusilaan di media sosial. Dia dihukum enam bulan penjara dan didenda Rp 500 juta.
Namun, setelah penolakan PK dari MA, justru mengalir dukungan dan aspirasi dari masyarakat, termasuk tokoh partai politik, untuk Baiq Nuril. Nuril pun melakukan upaya terakhirnya dengan berharap Presiden Jokowi memberikan amnesti sehingga dirinya tidak menjalani hukuman.
Sebab, Nuril merasa kasusnya itu berawal dari tindakan pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan oleh si kepala sekolah.
Kasus yang dialami Baiq Nuril bermula pada pertengahan 2012, saat ia masih menjadi guru hononer di SMAN 7 Mataram. Saat itu, ia menerima telepon dari kepala sekolahnya, Muslim.
Dalam perbincangan itu, kepala sekolah tersebut menceritakan tentang hubungan seksual yang pernah dilakukannya dengan seorang wanita. Pembicaraan juga mengarah pada pelecehan seksual secara verbal kepada Nuril.
Ia merekam salah satu percakapannya dengan Muslim karena sang kepala sekolah beberapa kali menyampaikan hal yang sama saat meneleponnya.
Rekaman percakapan diserahkan kepada seorang rekannya. Namun, pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat sang kepala sekolah geram.
Nuril dipolisikan oleh kepala sekolahnya itu dengan sangkaan menyebarkan konten asusila tersebut ke media sosial. Atas laporan itu, Baiq Nuril sempat ditahan polisi sejak 24 Maret 2017.
Pada 6 Juli 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram memvonis bebas Baiq Nuril. Namun, pihak jaksa yang menuntut Nuril mengajukan kasasi atas vonis itu ke MA.
Pada 26 September 2018, MA melalui majelis kasasi menganulir putusan PN Mataram. Nuril dinyatakan terbukti bersalah membuat atau mendistribusikan konten asusila.
Belakangan, Baiq Nuril melakukan perlawanan secara hukum dengan mengajukan PK. Sayang, PK yang diajukannya ditolak oleh MA. Ia tetap dinyatakan bersalah dan dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. (tribun network/uma/coz)