TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebelum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar kongres mereka di Bali pekan ini, salah satu keputusan terpenting disebut sebenarnya tinggal menunggu ketok palu: Megawati Soekarnoputri kembali didapuk menjadi ketua umum partai berlambang kepala banteng.
Hingga kini belum ada orang yang dianggap mampu menyamai kharisma Mega, yang menjabat orang nomor satu PDIP sejak 1999.
Salah satu pendiri PDIP menilai tak adanya regenerasi kepemimpinan berpotensi menjadi bom waktu bagi partai yang memenangkan tiga dari lima pemilu pasca reformasi ini.
Adapun menurut pakar politik, PDIP sebenarnya menghadapi dilema besar dalam menyerahkan estafet dari Mega ke politikus yang lebih muda.
Baca: OTT KPK Terhadap Kader PDIP Nyoman Dharmanta saat Kongres PDIP 2019
Baca: Alasan Megawati Sebutkan Nama Ahok dalam Pidatonya di Kongres V PDIP di Bali
Mega dan PDIP diibaratkan sebagai dua sisi dalam sekeping uang, oleh Eros Djarot.
Eros adalah penyokong partai banteng pada era reformasi yang mengundurkan diri tahun 2002 karena berselisih dengan Mega.
Meski begitu, Eros menilai peran dan figur Mega sebenarnya melampaui partai yang dikelolanya.
"Megawati itu PDIP, PDIP itu Megawati. Mega tanpa PDIP tetap Mega, tapi PDIP tanpa Mega bukan PDIP sebagaimana yang kita pahami sekarang," kata Eros kepada BBC Indonesia pekan lalu.
Sekitar awal tahun 2000-an, kata Eros, Mega sebenarnya mendorongnya maju dalam pemilihan calon ketua umum baru PDIP.
Dengan kata lain, menurutnya, Mega saat itu ingin PDIP tumbuh menjadi partai modern yang tak tergantung pada satu figur semata.
Belakangan, versi Eros, Mega berubah pikiran dan kembali maju sebelum akhirnya kembali ditetapkan sebagai ketua umum PDIP tahun 2005.
Selama periode itu, sejumlah politikus PDIP mundur dan dipecat karena berselisih pandangan dengan Mega.
Gerakan Pembaruan PDIP yang sempat dibentuk pun bubar.