"Upaya mengganti Mega tidak akan ada. Dulu saya mengajukan diri jadi ketua umum karena disuruh Mega, tapi dia berubah pikiran dan maju lagi."
"Sebenarnya upaya ini juga untuk menjadikan dia sebagai simbol ibu bangsa, bukan sekedar simbol PDIP," kata Eros.
Menurut Eros, peran vital yang terlalu lama dipegang Mega bakal menyulitkan politikus lain mengelola PDIP.
Ia berkata, kader PDIP tidak memiliki kesempatan menjaga stabilitas partai sebelum Mega akhirnya turun takhta.
"Kalau selama Mega hidup ada transformasi kepemimpinan, mungkin hanya akan muncul goncangan kecil."
"Tapi kalau ketiadaan Mega karena kehendak Yang Maha Kuasa, goncangan itu akan sangat terasa karena tidak ada satupun kader yang punya kharisma memimpin partai besar yang terdiri dari banyak kelompok, dari Islam, Kristen, hingga simpatisan partai lama," tutur Eros.
Rustriningsih, eks politikus PDIP yang mundur tahun 2013, menyebut kebijakan partai banteng sebenarnya tidak sentralistik di tangan Mega.
Namun aspirasi berjenjang dari kader di tingkat bawah dianggapnya kerap kandas di tangan 'orang-orang dekat Mega'.
Rustriningsih mengklaim 30 tahun menjadi kader PDIP sebelum keluar setelah hiruk-pikuk pencalonan gubernur Jawa Tengah.
"Dikatakan sangat sentralistik, tapi juga banyak informasi yang diserap, tapi dari pihak mana, apakah itu bebas nilai atau tendensius."
"Hak berpendapat memang diberikan, tapi keputusan ditentukan segelintir partai, ujungnya semua di ketua umum, tapi sangat bergantung orang-orang di sekitarnya," kata Rustriningsih.
Apa kata PDIP?
Penilaian Eros ditampik Andreas Hugo Pereira, Ketua DPP PDIP. Ia berkata, regenerasi di internal partainya berjalan mulus. Kader PDIP yang kini memegang jabatan publik, dari bupati bahkan presiden disebutnya sebagai bukti.