Walau begitu, Andreas menyebut peran Mega belum dapat dialihkan kepada kader lain. Menurutnya, pengalaman Mega menahkodai PDIP melewati rezim Orde Baru dan memenangkan partai banteng dua pemilu terakhir sulit dibantah.
Atas dasar itu pula, kata Andreas, 514 kepengurusan PDIP dari tingkat paling rendah hingga provinsi kembali mendukung Mega pada kongres tahun 2019.
"Tidak ada ketua partai yang dapat menandinginya: dua kali menang pilpres dan pileg. Partai lain masih sibuk soal siapa ketua umum, tapi capaian suara kurang. PDIP tidak ada persoalan sama sekali."
"Dilihat dari banyak aspek, Mega masih sangat layak. Kader partai meminta Mega dikukuhkan lagi secara aklamasi. Suaranya bulat," tutur Andreas.
Beberapa partai politik lain menggelar pemilihan ketua umum lewat mekanisme terbuka.
Golkar menyelenggarakan konvensi sejak 2004. Demokrat sempat menggelar pemilihan ketua umum terbuka tahun 2014, tapi batal menetapkan kemenangan Dahlan Iskan.
Sementara PKS dan PPP memiliki lebih dari satu calon ketua umum dalam pemilihan terakhir yang mereka gelar.
Bagaimana peluang Risma, bahkan Jokowi?
Eros Djarot menyebut pernah muncul kesepakatan tak tertulis di internal PDIP bahwa pengganti Mega harus trah alias keturunan Soekarno.
Namun ia menilai keputusan itu belum terang-benderang: keturunan langsung atau penerus daerah sang proklamator.
"Pengertian trah itu apa, garis partriaki? Artinya Guntur (kakak laki-laki Mega)? Atau sekedar darah, berarti Puan atau Prananda berpeluang," ujar Eros.
Bagaimanapun, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, dua anak Mega, dianggap belum cukup modal menggantikan ibu mereka di tampuk kekuasaan PDIP.
Mada Sukmajati, dosen ilmu politik di Universitas Gadjah Mada, menyebut keduanya tidak punya legitimasi untuk memimpin partai banteng.