TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak dalil permohonan sengketa hasil Pemilihan Umum DPD Nusa Tenggara Barat yang diajukan salah satu Calon Anggota DPD NTB, Farouk Muhammad.
Mahkamah menolak perkara nomor 03-18/PHPU-DPD/XVII/2019 untuk seluruhnya.
"Amar putusan mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi Termohon pihak terkait satu, pihak terkait dua. Dalam pokok permohonan Pemohon, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (9/8/2019).
Farouk dalam pokok permohonannya mendalilkan Calon DPD NTB nomor urut 26 Evi Apita Maya selaku pihak terkait 1 melakukan pelanggaran administrasi dengan tuduhan melakukan pengeditan pasfoto di luar batas kewajaran.
Baca: Meski Prabowo Hadir di Kongres PDIP, Belum Tentu Koalisi di 2024
Serta Calon Anggota DPD NTB nomor urut 35 atas nama Lalu Suhaimi Ismy dengan cara menggunakan pasfoto lama pada Pemilu DPD NTB Tahun 2014-2019.
Atas dalil Pemohon, mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran tersebut seharusnya dilaporkan dan diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu.
Namun dugaan pelanggaran tersebut baru dilaporkan oleh saksi Pemohon setelah melewati waktu pemungutan suara. Dimana semua pihak telah mengetahui hasil perolehan suara dari masing-masing Calon Anggota DPD NTB.
Mahkamah menilai, seandainya pun pelanggaran tersebut telah dilaporkan dan tidak ditindak oleh Bawaslu, akan sangat sulit menilai relevansi dan mengukur pengaruh foto peserta Pemilu yang termuat dalam kertas suara dengan tingkat keterpilihan calon tersebut.
Baca: Tega Buang Bayinya Sendiri, Perempuan ini Tulis Surat Wasiat untuk Penemunya, Isinya Mengharukan
Sebab, mahkamah beranggapan bahwa setiap pemilih punya preferensi yang bervariasi menggunakan hak suaranya. Sekaligus, memiliki kerahasiannya atas pilihannya masing-masing yang dijamin konstitusi dan undang-undang.
"Oleh karena itu dalil Pemohon a quo harus dikesampingkan dan karenanya harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum," sebut Hakim MK Suhartoyo.
Untuk dalil Pemohon soal tindakan pengelabuan yang dilakukan Evi Apita Maya pada alat peraga kampanye, mahkamah berpendapat hal demikian termasuk jenis pelanggaran proses sengketa Pemilu yang seharusnya juga dilaporkan ke Bawaslu.
Lagi pula, menurut MK, penggunaan logo pada spanduk tidak bisa serta merta ditaksir dan diukur pengaruhnya terhadap perolehan suara peserta Pemilu.
Dengan demikian, dalil Pemohon a quo harus dikesampingkan karena tak beralasan menurut hukum.
Baca: 58 Persen Responden Setuju Organisasi yang Bertentangan dengan Pancasila Dibubarkan
Sedangkan untuk dalil Pemohon yang menyatakan Evi diduga melakukan politik uang, mahkamah juga berpendapat seharusnya dilaporkan pada Bawaslu untuk diteruskan ke Gakkumdu sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu.
Meski Pemohon sudah melaporkan dugaan tersebut, laporan Pemohon telah melewati tenggat waktu, sehingga laporan tak berlaku karena tak lagi penuhi syarat formil.
"Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik lokus pihak yang terlibat dalam dugaan politik uang tersebut," ungkap Suhartoyo.