Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan pengawas pemilu (Bawaslu) RI berharap Undang-Undang tentang Pilkada bisa direvisi sesegera mungkin.
Sebab menurut Bawaslu, di dalamnya ada beberapa kekurangan yang rugikan mereka sebagai lembaga pengawas Pemilu.
Baca: Bawaslu Dorong DPR dan Pemerintah Segera Bentuk Lembaga Peradilan Pemilu
Hal ini disampaikan oleh Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Menurutnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang, masih punya kelemahan.
Antara lain yakni UU Pilkada tidak mengenal Bawaslu Kabupaten/Kota, melainkan cuma sebatas Panwaslu Kabupaten/Kota.
"Mau tidak mau UU Pilkada harus diubah," ungkap Bagja, Senin (12/8/2019).
Alasan lainnya ialah pada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan bahwa Koordinator Sentra Gakkumdu sebagai pihak yang berwenang mengadili pelanggaran pidana Pemilu adalah Bawaslu.
Sedangkan dalam UU Pilkada tak diatur ketentuan tersebut.
Kemudian, dalam UU Pilkada proses menangani pelanggaran administrasi Pemilu tidak dilakukan dengan ajudikasi secara terbuka.
Tapi dengan cara tertutup yang menghasilkan rekomendasi.
Menurut Bagja, proses penyelesaian pelanggaran lewat cara semacam itu adalah sebuah kemunduran bagi demokrasi.
Sebab masyarakat tak lagi bisa melihat dengan transparan apa dan bagaimana sebuah perkara diselesaikan atau diputus.
"Ini kemunduran jika masih dilakukan. Kalau ajudikasi terbuka, teman-teman bisa melihat si A punya data B punya data, dia beradu di Bawaslu, disampaikan bahkan bisa disaksikan live," ucap dia.
"Jadi jika Bawaslu main-main ini bisa dilihat. Karena sudah terbuka prosesnya," imbuhnya.
Tak hanya itu, kelemahan pada UU Pilkada juga ada pada proses in absentia dalam mengadili sengketa Pemilu.
Yakni, ketika menyidangkan sebuah perkara, pihak terlapor harus hadir dalam persidangan.
Jika tidak, maka sidang harus ditunda hingga yang bersangkutan hadir langsung.
Baca: Kritisi Wacana e-Rekap, Bawaslu: Situng Saja Sudah Berbulan-bulan Belum 100 Persen
"Misalnya tersangka A camat, kemudian dia lari. Kadaluarsa (perkaranya), selesai prosesnya. 6 bulan kemudian dia datang. Dilantik jadi camat. Bayangkan," jelas Bagja.
Oleh karena itu, Bawaslu sangat berharap UU Pilkada bisa direvisi sesegera mungkin.