TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto memberikan keterangan sebagai saksi di sidang kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa Sofyan Basir, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero).
Novanto membantah telah menerima imbalan sebesar 6 juta dolar AS atau lebih dari Rp 80 miliar dari terpidana Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd terkait proyek PLTU Riau-1.
Dia menyampaikan itu pada saat sidang lanjutan kasus suap proyek PLTU Riau-1 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (12/8/2019).
"Saya tidak tahu proyek itu nilai berapa karena engga pernah menyampaikan kepada saya karena waktu itu saya kena proses E-KTP dan ini (PLTU Riau-I) mulai menjauh dari saya," ungkap Novanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dia mengaku baru mengetahui ada pemberian uang itu pada saat membaca surat dakwaan Sofyan Basir.
Di surat dakwaan itu disebutkan adanya pertemuan di rumah Setnov serta pemberiaan fee tersebut.
"Saya juga baru tahu dari dakwaan yang disampaikan. Kalau pemberian fee itu dasar uang dari mana, saya sendiri uang dari mana," kata dia.
Baca: Jaksa Siap Korek Keterangan Setya Novanto Siang Ini di Kasus Sofyan Basir
Baca: Setya Novanto Bakal Jadi Saksi Sidang Kasus Suap PLTU Riau 1
Selain itu, mantan ketua umum Partai Golkar itu mengungkapkan tidak mengetahui perihal pemberian fee dari Johannes Kotjo kepada Eni Maulani Saragih, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI.
Dia mengatakan Kotjo tak pernah bercerita kepada dirinya soal imbalan tersebut.
"Kotjo enggak pernah cerita. Yang pertama berhubungan dengan saya, waktu itu saya baru tahu belakangan bahwa dia, belakangan setelah ramai di media saya baru tahu Kotjo dekat dengan Eni," kata dia.
Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis.
Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PLN nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisn Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.
JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.
Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 miliar.
Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.