Peranannya, yaitu dalam proses penganggaran yang bersangkutan melakukan pertemuan dengan Irman dan Sugiharto, serta sejumlah anggota DPR RI dan pejabat Kementerian Dalam Negeri terkait proses penganggaran proyek e-KTP.
Untuk mengulik sisi lain, KPK mulai menunjukkan sinyal penetapan tersangka dari klaster penganggaran yaitu DPR.
Saat itu, KPK mulai memanggil kembali 20 nama saksi anggota DPR aktif dan nonaktif. Salah satunya eks Ketua Umum DPR Setya Novanto.
Juli 2017, Setya Novanto resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka keempat.
"KPK menetapkan Saudara SN, anggota DPR periode 2009-2014, sebagai tersangka terbaru kasus e-KTP," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Agus mengatakan, Setya Novanto diduga memiliki peran dalam setiap proses pengadaan e-KTP.
Mulai perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa, melalui tersangka lainnya yaitu Andi Narogong.
"Saudara SN (Setya Novanto) melalui AA (Andi Agustinus) diduga memiliki peran, baik dalam proses perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa," ucap Agus.
Kemudian dalam dua hari setelah penetapan tersangka Setya Novanto, KPK 'menggandeng' anggota DPR lainnya yaitu Markus Nari.
Markus diduga meminta uang kepada Irman sebesar Rp5 miliar. Sebagai realisasi permintaan tersebut, Markus diduga telah menerima sekitar Rp4 miliar.
Dia diduga berperan dalam memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek e-KTP di DPR.
Lalu menyusul pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Made Oka diduga menjadi perantara jatah proyek e-KTP sebesar 5 persen bagi Setya Novanto melalui kedua perusahaan miliknya. Total dana yang diterima Made Oka berjumlah USD3,8 juta yang diteruskan kepada Novanto.
Sedangkan Irvanto, keponakan Setya Novanto itu diduga menjadi perantara suap bagi eks Ketua DPR itu.