TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Mohammad Tsani Annafari mengancam mundur dari jabatannya apabila terdapat sosol tercela dalam calon pimpinan KPK 2019-2023.
Berdasarkan data KPK, dari 20 orang calon pimpinan, terdapat dua kandidat yang pernah tugah di KPK dan di antar mereka pernah bermasalah secara etika.
“Bila orang-orang yang bermasalah terpilih sebagai komisioner KPK, Insya Allah saya akan mengundurkan diri sebagai penasihat KPK sebelum mereka dilantik,” ujar Tsani Annafari kepada wartawan di Jakarta, Senin (26/8).
“Bagi saya, tidak mungkin saya bisa menasihati orang yang sudah saya nyatakan cacat secara etik dalam tugas KPK. Suara internal KPK penting didengar karena mereka ini yang akan merasakan langsung dampak kehadiran para pimpinan ini dalam pelaksanaan tugasnya, karena mereka akan menentukan keputusan etik,” kata Tsani.
Baca: Sandiaga Uno: Apakah Pemindahan Ibu Kota Sebanding dengan Biaya yang Dikeluarkan?
Baca: Pemerkosa Anak asal Mojokerto Takut Dikebiri: Lebih Baik Saya Dihukum Mati
Baca: Temukan Lipstik di Mobil dan Curigai Suaminya Selingkuh, Istri Akhirnya Temukan Fakta Sebenarnya
Baca: Jadi Ibukota Baru Indonesia, Ini Deretan Pesona Wanita Kalimantan Timur, Begitu Manis dan Aduhay
Pimpinan yang sangat permisif dinilai Tsani akan malah memiliki masalah secara etik. “Ingat pimpinan yang tidak patuh LHKPN tidak mungkin bisa bicara fasih tentang LHKPN, karena mereka sendiri tidak melakukannya dengan baik,” ujar Tsani.
Padahal mengingatkan penyelenggara negara untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) itu adalah bagian dari tugas pimpinan KPK ke petinggi lembaga lain. “Jadi, Presiden harus serius memperhatikan hal ini,” katanya.
Ia pun mengaku pernah memeriksa langsung bukti-bukti pelanggaran etik para calon bermasalah tersebut.
“Saya sebagai orang yang pernah memeriksa langsung bukti-bukti pelanggaran etik tersebut bersama internal KPK menyaksikan dan meyakini bukti-bukti tersebut nyata. KPK dalam potensi masalah besar karena ada calon-calon bermasalah yang masih diloloskan meskipun telah dinyatakan KPK bermasalah secara etik,” ujar Tsani.
Namun Tsani tidak mengungkapkan dengan jelas siapa calon-calon yang dinilainya bermasalah secara etik saat bekerja di KPK tersebut.
Anggota Pansel Capim KPK Hendardi tak mempersoalkan adanya penasihat KPK mengancam mundur dari jabaannya. "Tidak ada masalah dengan ancam-ancaman," kata Hendardi di gedung RSPAD, Jalan Abdul Rahman Saleh Raya, Jakarta Pusat, kemarin.
Hendardi menyebut Tsani pernah ikut mendaftarkan diri sebagai capim KPK, tapi tidak lolos seleksi. Hendardi mempersilakan Tsani mundur dari jabatannya bila hal itu yang diinginkan. "Tidak usah mengancam, kalau mau mundur, ya mundur saja. Pak Tsani juga ikut mendaftar di awal ya, tapi gugur," jelas dia.
Jabatan penasihat KPK, diminta komisioner. Apabila pimpinan KPK periode 2019-2023 terpilih, menurut Hendardi, Tsani belum tentu masih menjadi penasihat KPK.
"Ya ketika nanti komisioner baru, belum tentu membutuhkan dia. Tidak usah mengancam-ancam. Kalau mau mundur, ya silahkan. Kan tidak ada yang melarang. Penasihat itu menasihati, diminta oleh komisioner. Ketika komisioner (baru), belum tentu membutuhkan dia. Misalnya dulu Pak Abdullah Hehamahua waktu periode sebelumnya menjadi penasihat," tutur dia.
Menurut Hendardi, saat ini tahapan seleksi capim KPK masih berlangsung, sehingga pihaknya tidak ingin berandai-andai. Pansel bekerja sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk memilih putra-putri terbaik memimpin KPK.
"Kalau ada kerisauan, kan itu hanya asumsi, saya tidak mau pusing dengan ini itu. Dan jangan mendikte kami dengan atas nama keresahan untuk kemudian memilih si A atau si B, atau menolak si A atau si B. Itu tidak kami lakukan Pansel," ujar Hendardi.
Umumkan 20 Calon
Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK pada Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment. Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1 orang), pegawai BUMN (1 orang), jaksa (3 orang), pensiunan jaksa (1 orang), hakim (1 orang), anggota Polri (4 orang), auditor (1 orang), komisioner/pegawai KPK (2 orang), PNS (2 orang), dan penasihat menteri (1 orang).
Dari 20 orang yang lolos ke tes kesehatan pada 26 Agustus 2019 dan dilanjutkan uji publik pada 27-29 Agustus 2019, ada dua orang yang pernah bekerja di KPK.
Dua orang itu adalah mantan Deputi Penindakan KPK yang saat ini menjabat Kapolda Sumatera Selatan Firli Bahuri, dan mantan Plt Direktur Penuntutan KPK yang saat ini menjadi Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Supardi.
Pekan lalu, KPK telah menyampaikan data rekam jejak para capim kepada pansel. Data rekam jejak itu diolah berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, kemudian telah dicek ke lapangan, oleh tim KPK didukung dengan data penanganan perkara di KPK, hingga pelaporan LHKPN dan gratifikasi.
Sebanyak 20 nama yang lolos hasil tes profile assessment tersebut, menurut KPK, terdapat sejumlah calon yang teridentifikasi memiliki catatan seperti tidak patuh dalam pelaporan LHKPN, diduga menerima gratifikasi, diduga melakukan perbuatan lain yang pernah menghambat kerja KPK, dan melakukan pelanggaran etik saat bekerja di KPK.
Terkait pelaporan LHKPN, dari 20 orang capim yang lolos ada 18 orang yang pernah melaporkan LHKPN sejak menjadi penyelenggara negara, sedangkan 2 orang bukan pihak yang wajib melaporkan LHKPN karena berprofesi sebagai dosen.
Kepatuhan pelaporan periodik 2018 yang wajib dilaporkan dalam rentang waktu 1 Januari-31 Maret 2019 hanya 9 orang yang lapor tepat waktu, yaitu merupakan pegawai dari unsur: KPK, Polri, Kejaksaan, BPK, mantan LPSK, Dekan dan Kementerian Keuangan.
Sebanyak 5 orang yang terlambat melaporkan merupakan pegawai dari unsur Polri, Kejaksaan, Sekretariat Kabinet, dan tidak pernah melaporkan sebanyak 2 orang yang merupakan pegawai dari unsur Polri dan karyawan BUMN. (Tribun Network/irp)
Ketua Pansel: Saya Tidak Pernah Jadi Staf Ahli Kapolri
Ketua Pansel Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih menanggapi tudingan Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK, bahwa dirinya pernah jadi tenaga ahli di Polri.
"Saya tidak pernah jadi tenaga ahli Kapolri. Hanya pengajar di program-program pendidikan baik di Polri, kejaksaan, Pajak, Bea Cukai untuk TPPU (Tendak Pidana Pencucian Uang)-nya," ujar Yenti.
Sebelumnya, Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK mengatakan Yenti memiliki konflik kepentingan dalam melakukan seleksi Capim KPK. Karena, Yenti pernah menjabat sebagai tenaga ahli Polri.
Lalu Yenti mempersilakan kepada publik untuk mengecek informasi tersebut. Yenti mengatakan tidak pernah ada surat keputusan (SK) yang menyatakan dirinya tenaga ahli atau staf ahli Kapolri. "Silakan cek adakah SK tentang tenaga ahli Bareskrim atau penasihat ahli kapolri, tidak ada," katanya.
Menurut Yenti, ia hanya pernah mengajar untuk Polri, Jaksa, Ditjen Bea Cukai, dan sejumlah lembaga lainnya. Ia mengajar terutama masalah tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Saya mengajar dan sering menjadi ahli untuk negara Polri dan Jaksa. Saya pengajar untuk semua lembaga penyidik TPPU polri, jaksa, pajak, bea cukai, BNN dan POM TNI. Yang paling banyak malah di Badiklat kejaksaan RI," kata Yenti.
Sebelumnya, Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) menyatakan prihatin atas sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya pada Selasa (6/8) Koalisi Kawal Capim KPK mengirimkan surat kepada Jokowi terkait pengevaluasian kinerja Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK.
Hingga saat ini, dikatakan Asfinawati, perwakilan koalisi, pihaknya belum menerima surat balasan dari Jokowi. "Surat kemarin tidak ada jawaban, kami prihatin atas ini, karena artinya Presiden atau orang-orang dekat Presiden tidak total dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Asfi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu pun menyangsikan surat yang dilayangkan sampai ke tangan Jokowi. Isi surat itu, jelas Asfi, adalah meminta Jokowi dan Pansel KPK menyoroti integritas para capim KPK.
Satu di antaranya ialah mengenai tolak ukur integritas capim KPK yakni berdasar kepatuhan kandidat dalam melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Dalam isi suratnya nanti, Koalisi bakal menuntut Jokowi soal adanya dugaan konflik kepentingan di dalam Pansel Capim KPK.
"Jadi di dalam undang-undang administrasi pemerintahan disebutkan seorang pejabat pemerintah yaitu yang membuat suatu keputusan itu tidak boleh memiliki konflik kepentingan. Memiliki konflik kepentingan itu ada 2 kriterianya, memiliki hubungan kerja dan mendapatkan uang apapun besarannya," ungkap Asfi.
Dia pun menjabarkan 3 nama anggota Pansel yang diduga memiliki konflik kepentingan. Mereka adalah Ketua Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih yang pernah tercatat sebagai Tenaga Ahli di Kalemdikpol, Bareskrim Polri BNN dan Kemenkumham.
Kemudian dua nama berikutnya ialah Hendardi dan Indriyanto Seno Aji. Dua anggota Tim Pansel itu tercatat menjabat sebagai penasihat ahli di Kepolisian. "Kalau ini dibiarkan bisa cacat secara hukum dan moral. Bisa mempengaruhi netralitas," ujar Asfi.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK (Pansel Capim KPK) agar tidak terlalu reaktif merespon saran masukan hingga kritik dari masyarakat terkait proses seleksi Capim KPK periode 2019-2023.
"KPK mengajak dan berharap pada Pansel agar tidak reaktif dan resisten dengan masukan publik. Pansel KPK cukup membuktikan Integritas dan kinerjanya dengan bekerja semaksimal mungkin memilih calon pimpinan KPK yang kredibel dan berintegritas," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Menurut Febri, kritik dan masukan dari masyarakat kepada Pansel tak perlu disikapi secara reaktif dan resisten. Menurutnya kritik merupakan sesuatu yang wajar dan mesti disikapi dengan bijak sebagai masukan dan bahan evaluasi. "Kritik dalam pelaksanaan tugas publik adalah hal yang wajar dan semestinya dapat kita terima dengan bijak," ujarnya.
Febri menegaskan, KPK juga kerap mendapatkan sejumlah kritikan dari masyarakat dan menjadikan kritikan tersebut sebagai evaluasi, bukan malah bersikap resisten dan reaktif. Sebab, kritik tersebut adalah bentuk kepedulian dari masyarakat.
"KPK juga sering dikritik oleh masyarakat, tapi itu kami letakkan sebagai masukan dan saran yang harus diterima dan didalami. Karena kami paham, KPK adalah milik publik, milik masyarakat Indonesia," tegas Febri. (Tribun Network/irp)