Wiranto menjawab warga Papua yang merasa dianaktirikan. Menurutnya, selama ini pemerintah bukan hanya omong belaka & telah membuktikan 4 tahun lebih.
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menjawab pernyataan warga Papua yang merasa dianaktirikan di Indonesia.
Wiranto mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah selama ini bukan hanya omong belaka.
Hal itu telah dibuktikan oleh kerja pemerintah untuk Papua selama empat tahun lebih ini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Keterangan ini disampaikan Wiranto dalam konferensi pers terkait Papua, Selasa (3/9/2019), yang disiarkan langsung oleh Kompas TV.
Baca: Wiranto: Tidak Ada Referendum untuk Papua dan Papua Barat, Jangan Terkecoh Berita dari Benny Wenda
Baca: Menkopolhukam Wiranto Bantah Indonesia Minta Tolong Amerika terkait Kasus Papua
Baca: Wiranto: 5 Orang Anggota TNI Diskorsing terkait Kasus Dugaan Rasisme Mahasiswa Papua di Surabaya
Dalam konferensi pers tersebut, Wiranto memaparkan beberapa upaya pemerintah dalam menangani berbagai kasus di Papua.
Salah satu di antaranya adalah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Wiranto mengatakan, ada tiga kasus yang pernah terindikasi pelanggaran HAM berat di Papua.
Ketiga kasus itu yakni peristiwa di Wasior tahun 2001, Wamena rahun 2003, dan Paniai tahun 2014.
Menko Polhukam itu menyebut, sudah terjadi kerjasama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Namun, ada beberapa prosedur yang harus dilalui agar kasus tersebut ditindaklanjuti.
"Pelanggaran berat HAM syaratnya harus ada proses penyelidikan, penyidikan awal, untuk masuk ke kejaksaan, di mana syarat-syarat hasil penyidikan harus dapat memenuhi persyaratan bahwa betul-betul itu pelanggaran HAM berat dengan mempunyai bukti cukup untuk ditindaklanjuti," jelas Wiranto.
Masalahnya, Wiranto menyebut, Komnas HAM dan Kejagung masih belum serasi.
Dengan kata lain, ada hambatan pada apa yang telah ditemukan Komnas HAM dan diserahkan ke Kejagung.
Ternyata, setelah diperiksa dan dianalisis, syarat-syarat tersebut belum memenuhi untuk diproses ke pengadilan.
"Sehingga dikembalikan kembali, dikembalikan kembali. Jadi ini agak memakan waktu," ungkap Wiranto.
Meskipun begitu, lanjut Wiranto, sudah ada koordinasi antara Komnas HAM dan Kejagung untuk melengkapi syarat formal dan material pada kasus Wasior dan Wamena.
Sehingga, kasus tersebut dapat dilanjutkan pada proses pengadilan.
Pada kasus Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II pada 2003 telah mengadili delapan anggota Polri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebagai catatan, kala itu, peradilan untuk anggota Polri masuk ke peradilan militer.
Sehingga, jika satu kasus telah diselesaikan di satu peradilan, tidak ada lagi penjatuhan hukuman untuk kedua kalinya.
Wiranto mengatakan, kondisi tersebut justru disalahartikan oleh warga Papua.
"Hal-hal seperti ini yang mengisyaratkan bahwa bukan karena pemerintah enggan menyelesaikan, malas menyelesaikan atau tidak mau menyelesaikan, tapi ada hal-hal teknis," ungkapnya.
Wiranto melanjutkan, hal seperti itulah yang terus digembar-gemborkan bahwa pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diselesaikan..
Oleh karena itu, perlu diadakan dialog, apakah hukuman pelanggaran HAM berat diselesaikan secara yudisial atau nonyudisial.
"Kita kan punya lembaga adat yang menyelesaikan masalah-masalah ini dengan cara-cara kekeluargaan. Bahkan di Papua, Papua bBrat, ada istilah bakar batu. Antar suku pun kalau ada perang sampai ada yang terbunuh, ada acara adat bakar batu, selesai," kata Wiranto.
"Ini salah satu budaya yang hanya bisa kita gunakan untuk jalur penyelesaian nonyusudial masalah pelanggaran HAM," lanjutnya.
Mengenai keadilan pembangunan di Papua, Wiranto mengaku mendapat banyak berita dari dalam negeri maupun luar negeri.
Berita-berita tersebut kemudian dilansir oleh pihak-pihak yang mendeskreditkan dan mendelegitaimasi pemerintah.
"Seakan pemerintah tidak adil terhadap provinsi Papua dan Papua Barat dalam konteks pembangunan nasional. Sehingga diharapkan ada kekecewaan, ketidaksenangan dari masyarakat Papua dan Papua Barat," ungkapnya.
Wiranto memaparkan, sejak Jokowi ditetapkan menjadi presiden pada 2014 silam, salah satu orientasinya adalah membangun daerah pinggiran, termasuk Papua dan Papua Barat.
"Bukan hanya ngomong, bukan hanya rencana, tapi sudah dibuktikan 4 tahun lebih ini. Kunjungan beliau yang sering ke sana, ngecek sendiri rencana pembangunan, infrastruktur, rencana pembangunan fasilitas-fasilitas kesejahteraan masyarakat, kesehatan, pendidikan, pos lintas batas yang megah," papar Wiranto.
"Jadi, ada satu bukti nyata bahwa pemerintah betul-betul mencoba untuk melakukan akselerasi di semua bidang. Belum pembangunan lain, jalan-jalan antarkota, pelabuhan laut, pelabuhan udara, harga-harga disamakan," terangnya.
Anarkisme di Papua dan Papua Barat
Dalam konferensi pers, Wiranto juga menanggapi anarkisme yang terjadi di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, anarkisme di Papua sebenarnya pernah beberapa kali terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Beberapa di antaranya adalah unjuk rasa di Biak Numfor tahun 1998, penyerangan di Polsek Abepura tahun 2000, unjuk rasa di Wasior tahun 2001, kerusuhan pascakematian Theys Eluay tahun 2001, pembobolan gudang senjata di Wamena tahun 2003, unjuk rasa di Unceen Abepura tahun 2006, Kongres Papua III tahun 2011, Paniai tahun 2014, dan kerusuhan di Papua Agustus lalu.
Terkait hal itu, Wiranto mengajak masyarakat untuk mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi.
"Artinya, kita harus belajar bersama-sama dari ini. Ternyata kerusuhan, kekerasan, konflik itu menimbulkan korban, tidak menguntungkan sama sekali, toh ujungnya damai," kata Wiranto.
Wiranto berharap, apa yang terjadi di masa kini seharusnya tidak mengulang masa lalu.
Oleh karena itu, sebaiknya diharapkan untuk tidak kembali mengulang konflik.
Tidak dengan rusuh, tetapi melalui dialog dari pengalaman yang lalu.
Dengan peristiwa sekarang ini, Wiranto mengatakan, Presiden telah mewanti-wanti untuk sabar dan mengajak berdialog tanpa demo dan bakar-bakaran.
"Yang rugi rakyat, yang rugi pemerintah, yang rugi kita semua," ujar Wiranto.
Tidak Ada Referendum untuk Papua dan Papua Barat
Wiranto menyebut, banyak informasi dan tuntutan tentang referendum atau keinginan untuk memisahkan diri dan merdeka dari Indonesia.
Menko Polhukam itu mengatakan, pihak-pihak yang menuntut referendum sebenarnya tidak menyadari apa yang terjadi selama ini.
"Kalau kita berbicara referendum, sebenarnya hukum internasional sudah tidak ada lagi tempat untuk Papua dan Papua Barat disuarakan referendum," kata Wiranto.
Dalam hukum internasional, referendum bukan untuk wilayah yang sudah merdeka, tetapi wilayah Non-Self-Governing Territories.
Misalnya, Timor Timur yang merupakan provinsi seberang lautan dari Portugis.
Di PBB, Timor Timur memang bukan wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, disana boleh mengajukan referendum.
Namun, Papua dan Papua Barat sudah pernah referendum di tahun 1969.
"Sesuai prinsip-prinsip Piagam PBB, sudah dilaksanakan satu jajak pendapat yang didukung oleh sebagian besar anggota PBB. Muncul resolusi 2524 yang sah bahwa Papua dan Papua Barat (waktu itu Irian Barat) sah sebagai wilayah NKRI," jelas Wiranto.
"Keputusan PBB tidak bisa bolak-balik ditinjau lagi, ganti lagi, nggak bisa. Sehingga jalan untuk ke sana sebenarnya tidak ada lagi," lanjutnya.
Kemudian, Wiranto juga berbicara mengenai hak-hak dasar masyarakat Papua.
Disebutnya, warga Papua merasa hak-hak dasarnya tidak dipenuhi, baik hak politik, ekonomi, sosial, budaya.
Mereka beranggapan, hak-hak mereka merasa dikebiri oleh pemerintah.
"Itu kan tidak benar. Karena UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus sebenarnya hak-hak dasar itu sudah diberikan, silakan diatur oleh pemerintah daerah di sana, dengan tetap mengacu pada undang-undang yang ada di Indonesia," terang Wiranto.
"Jadi, tidak ada berita yang seperti disampaikan Benny Wenda di luar negeri bahwa Indonesia itu mengebiri hak-hak Papua, Papua Barat," tegasnya.
Wiranto melanjutkan, selama ini banyak berita dari luar negeri maupun dalam negeri yang memberitakan adanya pembunuhan, pelanggaran HAM, dan tidak adanya pembangunan di Papua dan Papua Barat.
"(Warga Papua dan Papua Barat) merasa dianaktirikan, itu semua tidak benar. Jangan kita terkecoh dengan hal seperti itu," ujar Wiranto.
Wiranto kembali menegaskan, wacana self determination atau referendum telah ditutup oleh hukum internasional.
"Hukum nasional kita juga sudah final. Tidak ada pembicaraan seperti itu," kata Wiranto.
Akses Internet Akan Kembali Dibuka di Papua
Terkait pembatasan akses internet di Papua, Wiranto mengaku, internet di Papua tidak ditutup sama sekali.
Hanya saja, koneksi internet diperlambat dan gambar-gambar tidak bisa dikirim.
Namun, SMS dan pesan instan Whatsapp masih bisa dikirim.
Wiranto mengatakan, pembatasan internet ini sebagai reaksi dari kondisi yang terjadi, yang dianggap membahayakan keamanan nasional.
Disebutkan, banyak campur tangan dari pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk ikut mengacaukan keadaan melalui media sosial.
Hal itu dikarenakan tidak seperti di masa lalu, kini berita sudah sampai ke publik karena internet hanya dalam hitungan detik.
"Banyaknya hoaks, hasutan, dan tone negatif tentang apa yang terjadi di Papua, serta kondisi yang tidak stabil yang terus diolah dan dikembangkan menambah keadaan menjadi kacau," jelas Wiranto.
Wiranto menerangkan, kondisi tersebut membuat aparat keamanan sulit untuk menstabilkan daerah.
Kesulitan itu disebabkan oleh kebebasan media.
"Maka sesuai undang-undang yang ada, kita mohon maaf kepada masyarakat, sebagian daerah kita lemotkan dulu," ucap Wiranto.
Sementara itu, jika keadaan sudah stabil, akses internet akan segera kembali normal.
"Kalau ada laporan di sana sudah kondusif dan berkurang hasutan serta hoaks, detik itu juga kita akan cabut," kata Wiranto.
Wiranto juga mengatakan, ia telah berkoordinasi dengan Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN yang memantau lokasi.
Menurut laporan yang diterima, hoaks telah berkurang, hasutan-hasutan sudah hampir tidak ada, dan sebagian besar berita yang dikabarkan telah positif.
"Kondisi daerah kan sudah stabil, tetapi dari informasi yang didapat, dari analisis prediksi keamanan, kita masih perlu waktu sebentar," kata Wiranto.
Wiranto menyebut, kemungkinan akses internet kembali normal akan dilakukan pada Kamis (5/9/2019).
"Tanggal 5 nanti, kalau keadaan sudah betul-betul kondusif, kita buka kembali internet," ujarnya.