Turunnya Soeharto ini otomatis membuat tampuk kuasa kosong.
Habibie pun mengisi kursi tersebut dan mulai merombak apa yang sudah ada.
“Kepemimpinan Pak Habibie itu adalah langkah pertama bangsa Indonesia menuju reformasi. Itu tak terlupakan oleh insan pers dalam negeri,” ujar wartawan Kompas, Joseph Osdar dalam wawancaranya dengan Aiman Witjaksono di Kompas TV, Rabu (11/9/2019).
Joseph yang menjadi wartawan istana pernah meliput enam presiden.
Tak heran, ia banyak mengetahui sepak terjang kepemimpinan di Indonesia.
“Tahun tersebut juga Pak Habibie langsung menghapuskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Ini adalah langkah berani. SIUPP itu diciptakan saat Orde Baru untuk mengontrol pers,” katanya.
Joseph mengingat, pada 1978, Harian Kompas pernah kena bredel pemerintah akibat pemberitaan demo mahasiswa menyangkut makar, penumpangan presiden, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Nah, setelah itu agak susah bagi kami yang ingin membuka usaha media. Tiba-tiba, Pak Habibie masuk ke pemerintahan. Jadi kontrol pemerintah terhadap pers hilang sepenuhnya,” jelas Joseph.
Tak hanya itu, setelah Habibie menjadi presiden, ia langsung mengambil langkah cepat dengan cara mendengarkan isi hati para wartawan.
Di situ, Habibie tak ingin berbicara, ia hanya ingin mendengarkan.
Habibie paham, nasib negara yang kini ada di tangannya seperti kapal yang hendak karam.
Sebagai nakhoda, ia harus segera mengangkat kapal itu agar tidak tenggelam hingga dasar lautan.
Bukan hanya Joseph, ajudan Presiden Habibie, TB Hasanuddin mengakui hal yang sama.
Habibie bukan sosok sembarangan. Ia adalah nakhoda yang mengarahkan Indonesia ke situasi yang lebih baik.
“Saya selalu merasa kagum dengan beliau karena jarang sekali Pak Habibie itu meminta tolong ajudannya. Kalau bisa dilakukan, dilakukan sendiri,” ucap Hasanuddin di Kompas TV.