Abraham Samad juga menjelaskan bagaimana alur izin penyadapan yang selama ini dilakukan KPK.
Ada banyak 'meja' yang harus dilewati saat KPK meminta izin melakukan penyadapan, yaitu kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, barulah lima pimpinan KPK.
Sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK, kata Abraham Samad, merupakan bagian dari sistem pengawasan tersebut.
Menurutnya, tidak perlu lagi melibatkan badan lain yang semakin memperpanjang alur penyadapan karena berisiko bisa bocor.
"Tdk perlu melibatkan badan lain yg memperpanjang alur penyadapan dgn risiko bisa bocor," paparnya.
Poin ketiga yang disoroti Abraham Samad, soal kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Menurut Abraham Samad, bila KPK diberi wewenang SP3, sama saja dengan menyuruh KPK berkompromi dengan korupsi.
"KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," tulis pria kelahiran Makassar ini.
Baca: Soal Keberadaan Dewan Pengawas di Revisi UU KPK, Wapres JK Setuju dengan Catatan soal Penyadapan
Baca: KPK Belum Terima Informasi dari Pemerintah atau DPR Terkait Revisi UU KPK
Selama ini, lanjutnya, KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya dakam setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3.
Pasalnya, dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung 'satu atap' dalam satu kedeputian yaitu Kedeputian Penindakan.
Dalam cuitan lain, Abraham Samad menulis, dengan adanya revisi UU KPK ini akan menjadikan KPK sebagai Komisi Pencegahan Korupsi.
"Dan pada akhirnya, KPK hanya menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, tidak lebih. Ini mengkhianati semangat reformasi," tulisnya.
(Tribunnews.com/Whiesa/Sri Juliati)