News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BJ Habibie Meninggal Dunia

Kisah Habibie di Penghujung Kekuasaan Soeharto (3-Habis): Tak Pernah Bisa Lagi Bertemu Sang Presiden

Penulis: Febby Mahendra
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden BJ Habibie semasa hidup

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie gagal melaporkan hasil sidang ad hoc terbatas Kabinet Pembangunan VII kepada Presiden Soeharto, pada 20 Mei 1998 malam, melalui sambungan telepon.

"Sangat saya sayangkan bahwa Pak Harto ketika itu tidak berkenan berbicara dengan saya," kata Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri.

Baca: Tak Hanya Makam BJ Habibie, Sejumlah Warga juga Datangi Pusara Ainun dan Ani Yudhoyono

Soeharto hanya menugaskan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk menyampaikan keputusan, esok harinya, pukul 10.00, ia akan mundur sebagai presiden.

Sesuai UUD 1945, Soeharto berniat menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab kepada Habibie sebagai Wakil Presiden RI, di Istana Merdeka.

"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan. Ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," ujar Habibie.

Setelah pembicaraan melalui telepon dengan Saadilah Mursyid selesai, Habibie kembali ke pendopo untuk menjelaskan informasi itu kepada para menteri yang hadir saat itu.

Semua terkejut mendengar berita tersebut.

Setelah rapat bubar, Habibie masuk ruang kerja dan memantau perkembangan gerakan masyarakat, khususnya di Jakarta, dan reaksi luar negeri terhadap situasi di Indonesia yang terus memanas.

Ajudan yang bertugas, Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mohon waktu untuk bertemu.

Habibie saat itu belum bersedia menerima siapapun.

Habibie terus asyik di ruang kerjanya sampai terdengar suara dari ruangan yang gelap.

"Pak Habibie, sudah hampir pukul 04.00, Bapak belum tidur dan belum beristirahat, sementara acara Bapak sudah mulai pukul 07.00. Mohon Bapak beristirahat sejenak."

Ruangannya sangat gelap, karena tidak ada lampu yang menyala kecuali sinar monitor komputer.

"Siapa yang berbicara," tanya Habibie.

"Siap, Kolonel Hasanuddin, ADC (ajudan) Bapak," sambil menyinari wajahnya dengan lampu senter.

"Mengapa Kolonel belum tidur," kata Habibie.

"Siap, lagi dinas dan mohon Bapak istirahat sejenak," jawab Hasanuddin.

Setelah satu jam tidur, Habibie bangun untuk salat subuh, kemudian mandi dan kembali ruang kerja untuk memantau pergerakan massa melalui internet dan siaran televisi.

Sekira pukul 06.45 WIB, ajudan Kolonel (Udara) Iwan Sidi masuk ke ruangan dan melaporkan Pangab Jenderal TNI Wiranto sudah siap menunggu di ruang tamu.

Dalam pertemuan pukul 06.50-07.25 itu Jenderal Wiranto melaporkan keadaan di lapangan yang tidak menentu dan gerakan-gerakan demo yang terus meningkat.

Kemudian Habibie bersiap meluncur ke Jl Cendana, berharap mendapatkan penjelasan dan jawaban mengenai mengapa semua ini terjadi.

"Saya mendapat berita Pak Harto ternyata belum bersedia menerima saya. Saya dipersilakan langsung saja berangkat ke Istana Merdeka. Protokol dan ADC Presiden berharap pertemuan empat mata dapat dilaksanakan di Istana Merdeka, " kenang putra kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan itu.

Sekira pukul 08.30 Habibie meluncur ke Istana Merdeka, namun sesampai di lokasi belum ada orang yang hadir.

Ia duduk di kamar tamu yang berhadapan dengan Ruang Jepara.

Beberapa saat kemudian, Ketua Mahkamah Agung, Sarwata SH, dan para anggota Mahkamah Agung, datang. Kemudian para pimpinan DPR/MPR giliran datang.

Tiba-tiba, Protokol dan ADC Presiden mempersilakan Ketua dan para anggota Mahkamah Agung masuk ke Ruang Jepara.

Saya langsung berdiri dan menyampaikan saya dijanjikan untuk dapat bertemu Presiden Soeharto.

Langsung ADC Presiden kembali ke Ruang Jepara dan hanya sekejap kemudian hanya mempersilakan Ketua bersama para anggota Mahkamah Agung masuk ke Ruang Jepara.

"Saya merasakan diperlakukan tidak wajar dan menahan diri untuk tetap sabar dan tenang. Saya membaca beberapa ayat Alquran yang saya hafal," katanya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Ketua dan anggota Mahkamah Agung keluar dari Ruang Jepara, ADC dan Protokol mempersilakan pimpinan DPR/MPR memasuki ruang itu.

"Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan penghinaan, sehingga kemudian saya memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung dengan Presiden Soeharto," ujar Habibie.

Namun, baru saja Habibie berada di depan pintu Ruang Jepara, tiba-tiba pintu terbuka dan protokol mengumumkan Presiden Republik Indonesia memasuki ruang upacara.

"Saya tercengang melihat Pak Harto, melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan 'melecehkan' keberadaan saya di depan semua yang hadir," tulis Habibie.

Dalam acara itu Habibie untuk pertama kalinya saya mendengar alasan Soeharto mengundurkan diri.

Baca: Kenang Masa Lalu, Mantan Ajudan Tidur di Kolong Tempat Tidur BJ Habibie dengan Senjata Lengkap

Setelah Habibie mengucapkan supah sebagai Presiden RI, Soeharto meninggalkan Istana Merdeka.

"Tanpa senyum maupun sepatah kata, ia meninggalkan ruang upacara," katanya. (tribunnetwork/feb)

Kisah Habibie pada seri sebelumnya ...

Berdebat keras soal menteri Kabinet Reformasi

BJ Habibie Bapak Perintis Teknologi di Indonesia, Ternyata Juga Pendiri PT INKA, Ini Perjuangannya (Istimewa/ TribunJatim.com)

Untuk membahas susunan Kabinet Reformasi, Habibie berangkat ke rumah pribadi Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, 20 Mei 1998.

Sampai di rumah pribadi Soeharto sekira pukul 19.30, namun saat itu sang presiden sedang menerima mantan Wakil Presiden Sudharmono.

Baca: Kisah Habibie di Penghujung Kekuasaan Soeharto (1) Terima Telepon Mengejutkan dari Menko Ginandjar

Saat menunggu, Habibie ditemani Siti Hediyati, putri Soeharto yang kala itu masih berstatus istri Letjen TNI Prabowo Subianto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Dalam pertemuan, Soeharto membuka sehelai kertas besar yang berisi nama-nama anggota Kabinet Reformasi.

"Pak Harto menyatakan agar saya bersama beliau mengecek ulang nama-nama tersebut. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengusulkan beberapa perubahan," kata BJ Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri, September 2006.

Karena ada perbedaan pandangan menyangkut beberapa nama, terjadilah perdebatan yang cukup hangat.

"Karena tidak ada titik temu, saya persilakan Pak Harto memutuskan apa yang terbaik, karena penyusunan anggota kabinet adalah hak prerogatif presiden," ujar Habibie.

Menurut rencana, esok harinya, Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, Presiden didampingi oleh Wakil Presiden akan mengumumkan susunan Kabinet Reformasi.

Selanjutnya, pada hari Jumat, 22 Mei, para anggota Kabinet Reformasi akan dilantik Soeharto didampingi Habibie.

Dalam kesempatan itu Soeharto menyampaikan agenda mengundang pimpinan DPR/MPR ke Istana Merdeka pada Sabtu, 23 Mei 1998.

"Ia bermaksud menyampaikan kepada pimpinan DPR/MPR untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik," kenang Habibie.

Saat itu Soeharto sama sekali tidak menyampaikan alasan mengapa mundur, padahal baru saja disusun Kabinet Reformasi. Habibie menduga dirinya ikut diminta mundur.

"Pertanyaan ini muncul karena pernyataan Pak Harto sehari sebelumnya di hadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah meragukan kemampuan saya. Sejumlah pertanyaan berkecamuk di benak saya," katanya.

Akhirnya Habibie memberanikan diri bertanya.

"Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?"

Soeharto spontan menjawab, "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden."

Untuk mengakhiri suasana pembicaraan yang tidak mengenakkan, Habibie mengalihkan pembicaraan terkait Ginandjar cs.

"Apakah Pak Harto sudah menerima surat pernyataan dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin?"

Soeharto mengaku sudah dengar dari Tutut, tetapi belum membaca suratnya.

"Kemudian Pak Harto mengulurkan tangannya, sebagai isyarat ia menghendaki diakhirinya pertemuan tersebut," tambah Habibie.

Mereka saling berpelukan sebelum berpisah.

"Laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi," kata Soeharto.

Habibie meninggalkan Jl Cendana, dengan perasaan yang tidak menentu dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya.

Di dalam mobil, dalam perjalanan ke rumah pribadinya di Kuningan, Habibie menugaskan ajudan Kolonel (AL) Djuhana menghubungi empat Menko dan semua menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin.

Mereka diminta hadir pada sidang ad hoc kabinet terbatas di rumah Habibie mulai pukul 22.00.

Baca: Sosok BJ Habibie di Mata Presdir Asuransi Prudential

Dalam pertemuan malam itu Habibie menceritakan hasil pembicaraan dengan Soeharto beberapa jam sebelumnya, kepada menko dan 14 menteri.

"Oleh karena beberapa Menteri dari Kabinet Pembangunan VII masih dibutuhkan untuk duduk dalam Kabinet Reformasi, maka atas nama Pak Harto, saya mohon agar para menteri yang telah menandatangani pernyataan bersama tersebut dapat mempertimbangkan untuk menarik kembali pernyataan mereka dan ikut memperkuat Kabinet Reformasi," kata Habibie. (tribunnetwork/feb)

Terima telepon mengejutkan

Mantan Presiden, BJ.Habibie mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR RI, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (31/1/2011). Rapat ini membahas pengembangan dan pemanfaatan industri strategis untuk pertahanan. (Tribunnews.com/Herudin)

Sehari menjelang pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, 20 Mei 1998, Habibie tengah mempersiapkan materi untuk dilaporkan kepada Presiden.

Sesuai rencana laporan bakal disampaikan di rumah pribadi Soeharto, kawasan Jl Cendana, Jakarta, pukul 19.30 WIB, 20 Mei 1998.

"Bahan masukan saya peroleh dari Sekretariat Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Perlu saya sampaikan bahwa Keluarga Besar Golkar terdiri dari Golkar, ABRI, dan Utusan Daerah. Masing-masing diwakili oleh Ketua Golkar, Panglima ABRI (Pangab),
dan Menteri Dalam Negeri," tulis Habibie dalam Bab I buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Posisi Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar diberikan kepada Habibie dua kali yaitu 1993 dan 1998.

Dalam mekanisme politik saat itu, peran Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar amat menentukan.

Keputusan untuk mengangkat Habibie sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti, diterima pada 31 Desember 1997 malam hari.

Pada saat itu kondisi sedang tidak menentu akibat krisis ekonomi moneter di Thailand yang mulai terasa di Indonesia.

"Dalam keadaan yang tidak menentu dan kritis itu, timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa justru saya yang mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk menjadi Koordinator Harian tanpa pengganti," katanya.

Namun ia tidak pernah berhasil mendapat jawaban atas pertanyaan ini, begitu pula alasan dan maksud tujuannya.

Kabinet Pembangunan yang dibentuk setelah Sidang Umum (SU) MPR, merupakan hasil penilaian dan analisis presiden terpilih bersama Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

Seperti yang dialami Habibie pada 1993, bukan wakil presiden terpilih yang diajak presiden terpilih untuk bersama menyusun Kabinet Pembangunan, melainkan Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

"Kunjungan saya ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana, adalah dalam posisi sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar, bukan sebagai wakil presiden. Kunjungan itu bersifat rutin dan biasanya dilaksanakan di tempat dan waktu yang sama," katanya.

Sewaktu Habibie sedang mempelajari laporan masukan dari tiga jalur, sekira pukul 17.00, ajudan Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita minta berbicara melalui telepon.

Dalam kesempatan itu Ginandjar melapor Menko Ekuin bersama 13 menteri yang berada dalam koordinasinya tidak bersedia lagi untuk duduk di dalam Kabinet Reformasi yang anggotanya sedang disusun.

Tetapi, sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII, mereka akan tetap melaksanakan tugas masing-masing, sampai Kabinet Reformasi terbentuk.

"Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden," tanya Habibie.

Jawaban Ginandjar, "Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."

"Mengapa harus begini," tanya Habibie kepada Ginandjar soal sikap 14 menteri itu.

Para menteri yang tidak bersedia menjabat lagi itu antara lain Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, dan Sumahadi.

Setelah menerima laporan Ginandjar, sekira pukul 17.45, ajudan melaporkan Menteri Keuangan Fuad Bawazier terus mendesak untuk melaporkan sesuatu yang penting.

Baca: Najwa Shihab Tulis Puisi Perpisahan untuk BJ Habibie: Ia Telah Menunaikan Kebaikan

"Apakah isu yang berkembang, bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai wakil presiden itu benar?"

Saya jawab, "Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!" (tribunnetwork/feb)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini