Seperti yang diketahui, nama Firli Bahuri sebelumnya menuai banyak kontroversi karena mendapat penolakan dari sejumlah pihak, tak terkecuali internal KPK.
KPK bahkan menyatakan, Irjen Firli yang merupakan mantan Deputi Penindakan KPK telah melakukan pelanggaran etik berat.
Menurut Penasihat KPK, Muhammad Tsani Annafari, Firli Bahuri melakukan pelanggaran hukum berat berdasarkan kesimpulan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.
"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019).
Tsani mengatakan, pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli itu berdasarkan pada tiga peristiwa.
Peristiwa pertama, yaitu pertemuan Irjen Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, M Zainul Majdi pada 12 dan 13 Mei 2019 lalu.
Baca: Capim KPK Firli Bahuri: Dekatlah dengan Teman, tapi Harus Lebih Dekat dengan Musuh Anda
Baca: Bicara Mitigasi Korupsi, Capim KPK Firli Bahuri Ambil Sampel Proyek Pemindahan Ibu Kota
Padahal, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Firli tercatat pernah menjadi Kapolda NTB pada 3 Februari 2017 hingga 8 April 2018, sebelum menjadi Deputi Penindakan KPK.
Kedua, Firli melanggar etik saat menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK Pada 8 Agustus 2018.
Kemudian yang ketiga, Firli Bahuri pernah bertemu petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.
Dalam catatan Kompas.com pada 10 April 2018 silam, telah muncul juga sebuah petisi mengatasnamakan Pegawai KPK, yang ditujukan kepada Pimpinan KPK terkait adanya potensi hambatan dalam penanganan kasus.
Petisi itu berjudul, "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus."
Baca: Wa Ode Sebut Satu Suara PAN untuk Capim KPK Firli Bahuri
Baca: Masinton: Saya Akan Usulkan Kepada Teman-teman di Komisi III Untuk Tetap Memilih Firli Bahuri
Petisi itu menjelaskan, belakangan ini jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke tingkat pejabat yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, maupun ke tingkatan tindak pidana pencucian uang.
Petisi itu mengungkap 5 poin, yaitu terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian; tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup; dan tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi.