TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Juajir Sumardi mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK harus menekankan pada pencegahan dan otoritas KPK yang jelas.
“Poin yang perlu (direvisi) itu harus kembali menekankan bahwa KPK punya ruang ranah yang jelas, misal kalau negara itu otoritasnya dimana. Artinya, jangan sampai otoritasnya itu berada pada wilayah kompetensinya kejaksaan dan kepolisian,” kata Juajir saat dikonfirmasj wartawan, Sabtu (14/9/2019).
Menurut dia, kalau UU KPK memang dirubah maka harus mengarah pada kompetensi absolut yang diberikan kepada KPK. Karena, selama ini kompetensi absolut tersebut kurang dikontrol. Maka, peran Dewan Pengawas KPK penting.
Baca: Gudang Senjata di Semarang Meledak, Satu Anggota Brimob Terluka & Sejumlah Truk Hancur
“Kalau kompetensi absolut itu kan KPK tidak boleh mengambil yang kacang-kacangan kecil-kecil diambil juga, terlalu mubazir dan terlalu besar biayanya ketimbang hasil yang diperoleh,” ujarnya.
Harusnya, KPK menangani kasus yang potensi kerugian negaranya diatas Rp 1 miliar.
Sehingga, jangan sampai KPK mengambil potensi kerugian negara dibawah Rp 1 miliar hanya mencari pencitraan.
Dirinya mengatakan, harus ada ruang yang jelas dan kepastian dalam hal apa yang bisa untuk melakukan OTT (operasi tangkap tangan) sehingga tidak semua perkara yang kecil diambil.
“Jadi sebelum melakukan OTT, sudah bisa mengidentifikasi kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mau ditangkap tangan itu melampaui Rp 1 miliar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Juajir mengatakan KPK harus bisa membangun strategi follow the asset bukan follow the person.
Sebab, katanya, selama ini KPK masih terjebak sasaran pada paradigma personal.
Padahal, KPK juga harus bisa mengamankan aset negara.
“Oleh karena itu, KPK harus mengambil kebijakan paradigmanya adalah follow the asset, follow the money, bukan follow the person,” ujarnya.