News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seleksi Calon Pimpinan KPK

Sebut Ada Bukti Pelanggaran Kode Etik Berat, Mantan Komisioner KPK Desak Kapolri Tarik Firli

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberikan keterangan kepada wartawan mengenai peristiwa penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan oleh dua orang tak dikenal, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/4/2017). Mereka memberikan dukungan kepada KPK dan juga meminta presiden turun tangan dengan cara membentuk tim khusus guna mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas 2010-2011 memberikan desakan kepada Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk segara menurunkan Irjen Firli Bahuri dari kursi kepemimpinan KPK untuk periode 2019-2023.

Menurut Busyro, Irjen Firli tidak bisa ditempatkan sebagai ketua KPK karena pernah melakukan pelanggaran kode etik berat.

“Ada bukti dan track record bahwa Irjen Firli ini pernah melakukan pelanggaran kode etik. Nah Kapolri sekarang harus punya iktikad jujur untuk menarik Firli,” ujar Busyro kepada wartawan, Minggu (15/9/2019).

Menurut Busyro, Tito Karnavian memiliki otoritas penuh untuk menarik Firli dari jabatan calon pimpinan KPK. Dia percaya bahwa Tito tidak mungkin menutup mata terhadap catatan buruk yang pernah dilakukan oleh Irjen Firli.

“Pak Firli itu waktu naik jadi capim KPK pasti mendapat izin dari Kapolri. Waktu itu sebagai Kapolda Sumsel, Pak Tito pasti punya iktikad baik karena pintar dan seorang profesor. Harus ada kejujuran,” kata Busyro.

Busyro juga menyoroti Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang dinilai tidak becus dalam memilih calon pimpinan yang memilk integritas.

“Hasil kerja pansel pimpinan KPK itu amburadulitas kelewat batas. Tapi itu tanggung jawab presiden," celetuknya.

Ketidaksetujuan pemilihan Irjen Firli memang lantang disuarakn oleh banyak politisi, cendikiawan, dan masyarakat sipil. Firli dianggap pernah memiliki rekam jejak yang buruk ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Hal ini berdasarkan laporan yang diberikan oleh Direktorat Pengawasan Internal KPK pada 21 September 2018 silam.

Pelanggaran Firli menurut Dewan Penasihat KPK Tsani Annafari meliputi beberapa hal.

Pertama, ketika dirinya bertemu dengan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi ketika KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham daerah PT Newmont tahun 2009-2016.

Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moh. Tsani Annafari

Tsani menyebut bahwa Firli tidak pernah melampirkan izin untuk mengadakan pertemuan dengan pihak terkait perkara dan tidak memberikan laporan kepada pimpinan.

Pelanggaran kedua adalah ketika Firli bertemu pejabat BPK, Bahrullah Akbar di Gedung KPK. Bahrullah saat itu dijadwalkan untuk mengikuti pemeriksaan sebagai saksi dari tersangka Yaya Purnomo Ihwal untuk kasus suap dana perimbangan.

Tsani mengungkap bahwa Firli didampingi langsung oleh Kabag Pengamanan menjemput langsung Bahrullah di lobi Gedung Merah Putih KPK.

Kemudian pelanggaran ketiga berupa aksi Firli saat melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada tanggal 1 November 2018.

Terpisah, Firli merespons berbagai tentangan tersebut sebagai sebuah tantangan. Dia mengaku bahwa jabatan pimpinan KPK adalah takdir yang harus dijalani.

“Ini sudah takdir. Saya harus menerimanya,” kata Firli.

Jokowi Harus Pilih 2 Opsi

Presiden Jokowi diminta segera mengambil tindakan untuk mencegah vakumnya posisi pimpinan Komisi Pemberantasa Korupsi menyusul mundurnya 3 dari 5 pucuk pimpinan KPK pada hari Jumat (13/9/2019) lalu.

"Karena sebagian besar pimpinan KPK saat ini mundur, akan menyebabkan terjadi kevakuman pimpinan KPK sampai Desember nanti. Karena itu dengan bismillahhirramaanirrahim kami ingin menyuarakan suara kami, Presiden Jokowi harus segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan KPK," ujar Chaerul Umam, pegiat Forum Lintas Hukum Indonesia, Chaerul Umam dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (15/9/2019).

Dari kiri ke kanan: Pegiat Forum Lintas Hukum Indonesia, Chaerul Umam, Petrus Selestinus dan Alfons Loemau memberikan keterangan persnya menyikapi kondisi valum kepemimpinan KPK pasca mundurnya 3 komisioner KPK, di Jakarta, Minggu (15/9/2019). (IST)

Pengamat dan praktisi hukum Petrus Selestinus menilai, saat ini terjadi kekosongan pimpinan di KPK sejak 3 orang pimpinan KPK mundur dan menyerahkan mandat ke Presiden sejak 13 September 2019.

"Menurut kami kondisi ini tak bisa ditemukan dalam norma hukum. Karena mundurnya kemarin mengatasnamakan pimpinan, menurut kami kelima orang ini sudah tidak memiliki kewenangan memimpin KPK. Kewenangan mereka jadi nol," ungkapnya. 

Petrus menilai, pengunduran diri pimpinan KPK ini jelas upaya memboikot tugas penegakan hukum di KPK.

Petrus Selestinus

"Ketika pimpinan KPK mundur tugas tugas penuntutan dan penyidikan di KPK menjadi lumpuh. Karena lumpuh, kami Forum Lintas Hukum Indonesia meminta kepada DPR dan Presiden melakukan terobosan hukum," ujarnya.

Petrus menyatakan, ada beberapa pilihan atau opsi terobosan hukum yang bisa diambil.

Pertama, "Presiden menyatakan pembekuan KPK dengan menyerahkan tugas ke Polri atau Kejaksaan atau menunjuk Plt (pelaksana tugas)," ujar Petrus.

Kedua, Presiden dengan mendorong dilantiknya lima orang pimpinan KPK terpilih hasil seleksi Panitia Seleksi KPK dan proses fit and proper test di DPR. 

Suasana fit and proper test hari pertama calon pimpinan KPK di ruang rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019). (TRIBUNNEWS/REZA DENI)

"Karena kalau tidak maka akan terjadi kemacetan dan kevakuman dalam pemberantasan korupsi di Indonesia," Petrus memberi alasan.

"Sekarang, tinggal bagaimana Presiden menyikapi hal ini, menyikapi hal hal yang terjadi pada hari hari terakhir di kepemimpinan KPK. Dua pimpinan di KPK sekarang tersisa Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata. Kita lihat KPK juga sudah tidak kompak lagi, ada friksi diantara pimpinan KPK," kata Petrus.

Mantan Direktur Penyidikan Mabes Polri Alfons Loemau mengatakan, KPK saat ini lebih sibuk dengan operasi operasi tangkap tangan. 

"Saat ini ada 3 orang komisioner KPK yang mundur menyerahkan mandat kepada Presiden tapi minta pengarahan. Nah, ini jadi abu abu dan membingungkan masyarakat, seolah ada arena perang tanding, saling sabot menyabot. Pimpinan KPK yang mundur itu bahasa Jawanya mokong, lepas tangan atau lempar handuk," tudingnya.

"Kalau pimpinan KPK mau mundur mundur saja, nggak usah pakai menyerahkan mandat. Lembaga yang seharusnya dipercaya untuk penegakan hukum jadi seperti bermain politik mengadu domba di tengah masyarakat," imbuh Alfons.

Chaerul Umam yang juga mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung menyatakan, dalam 17 tahun perjalanannya, KPK sebagai lembaga ad hoc tidak menjalankan upaya pencegahan hukum terhadap praktik-praktik korupsi.

"Dalam perjalanannya 17 tahun ini upaya pencegahan hukum ini tidak dilakukan. Juga seperti LHKPN sudah dilaporkan tapi tidak diteliti. KPK lebih banyak melakukan upaya penindakan, saat kejahatan terjadi baru dilakukan tindakan," ungkap Chaerul Umam. 

"DI KPK tidak ada SP3 (Surat Penghentikan Penyidikan Perkara). Karena KPK dilarang melakukan SP3 dan tidak ada SP3, banyak penyidikan kasus yang setelah tidak terbukti tindak pidana, kasusnya tidak bisa dihentikan," imbuhnya. 

Chaerul menengarai, banyak perkara yang macet di KPK. "Pada akhirnya tugas tugas KPK ini tak semulus seperti yang kita harapkan," kata dia.

"Akhirnya sekarang ada upaya menyempurnakan UU KPK. Memang mungkin akan ada yang ambil keuntungan untuk melemahkan KPK. Tapi kami di Forum Lintas Hukum Indonesia tidak menginginkannya. Kami ingin ada penyempurnaan KPK dan dilakukan penguatan," tandas Chaerul Umam.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini