News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik KPK

Polemik Revisi UU KPK, Laode: Ini Ibarat Orang Luar yang Renovasi Rumah Tanpa Beri Tahu Pemiliknya

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif memberikan keterangan pers terkait pengesahan revisi undang-undang KPK di gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Laode M. Syarif mengatakan ingin mengetahui model pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas KPK sebagaimana tercantum dalam revisi Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Sebab, selain adanya lima pimpinan KPK, nantinya akan ada Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan lebih dominan. Bahkan, kedudukan Dewan Pengawas dikhawatirkan bisa di atas lima pimpinan KPK.

Sebab, sejumlah perizinan untuk proses tindakan hukum, seperti penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyitaan hingga penggeledahan, oleh petugas KPK harus dengan izin Dewan Pengawas.

Dengan demikian, Dewan Pengawas masuk dalam proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.

Oleh karena itu, belum diketahui siapa pengendali tertinggi dari seluruh penyelidik, penyidik, jaksa penuntut hingga pegawai yang ada di KPK.

"Jadi, nanti di KPK selain lima komisioner, ada lima Dewan Pengawas. Mana yang lebih tinggi, tidak dijelaskan dalam UU KPK. Siapa yang menjadi penanggung jawab tertinggi, juga tak dijelaskan dalam UU KPK. Mungkin kolaborasi antara Dewan Pengawas dan pimpinan KPK, tapi tak dijelaskan siapa yang menjadi penanggung jawab tertinggi di KPK," katanya.

Menurut Laode, jika tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penyitaan hingga penggeledahan harus seizin Dewan Pengawas, maka Dewan Pengawas berperan sebagai penegak hukum. Sementara, dalam UU KPK yang baru tidak disebutkan sebagai penegak hukum.

Oleh karena itu, Laode khawatir sejumlah kasus yang ditangani KPK mendatangi akan mudah dikalahkan saat KPK proses praperadilan maupun pemeriksaan perkara pokok di pengadilan.

"Sedangkan, Dewan Pengawas tidak disebutkan juga status mereka itu sebagai apa, tetapi dimintai persetujuan untuk melakukan penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan. Padahal, secara hukum yang bisa melakukan perintah penggeledahan, penyadapan, penyitaan itu adalah aparat penegak hukum," ujarnya.

Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar meyakini UU KPK yang baru disahkan DPR bakal melemahkan KPK itu sendiri, khususnya dalam penindakan kasus korupsi. Sebab, UU KPK yang baru memberi tempat kepada Dewan Pengawas yang pengisinya adalah pilihan presiden. Belum lagi pegawai KPK akan berstatus ASN.

Oleh karena‎ itu, Fickar pesimistis periode mendatang akan ada banyak operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan pihak KPK. "Unsur pelemahannya dari lembaga yang independen menjadi lembaga yang langsung di bawah pemerintahan. Jadi nanti jangan harapkan banyak Operasi Tangkap Tangan (OTT)," ujarnya.

Dia menjelaskan OTT bakal berkurang karena akan diawasi dan atas seizin Dewan Pengawas. Ini jauh berbeda dengan KPK sebelumnya yang merupakan organisasi yang modern, ramping, dan cepat prosedur penindakan.

Menurutnya, ke depan KPK akan lebih mirip dengan Polri dan Kejaksaan yang berada di bawah pemerintah. "Jadi unsur pelemahannya disitu, jangan harap banyak OTT nanti.‎ Karena belum tentu dikasih izin oleh Dewan Pengawas. Apalagi kalo calon koruptornya (jika) dari pemerintahan atau lembaga yang memang terkait dengan dewan pengawas itu‎," kata dia. (tribunnetwork/ilh/sen/fel/)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini