TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menutup pintu tidak bakal menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan penerapan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Bahkan, dua kali penolakan itu terlontar.
KPK pun mencoba kembali mengetuk pintu hati Jokowi.
"Kami harap pemerintah jangan gegabah menyikapinya. Kalau bisa dibuka ruang dialog agar kami bisa jelaskan pasal mana yang berpotensi melemahkan," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kepada wartawan, Kamis (26/9/2019).
Syarif kembali menyinggung soal belum adanya berkas UU KPK baru itu di tangan KPK saat ini.
Namun, Syarif mengaku tahu sedikit isi dari UU KPK baru itu dari media.
Dari apa yang dibacanya, Syarif melihat potensi pelemahan KPK dalam beberapa poin seperti yang sudah beredar.
"Contoh di UU baru pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut lagi. Jadi siapa yang akan arahkan penyidikan dan penuntutan di KPK?" kata Syarif.
Selain itu, menurutnya, persoalan tentang Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang, tidak jelas juga statusnya sebagai penegak hukum.
Hal ini, disebut Syarif, akan membuat banyak kejanggalan bagi KPK dalam pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi ke depan.
"Kami tak alergi, tapi model pengawasannya yang harus diatur. Sekarang ini Dewas seperti berkuasa penuh, lalu yang awasi Dewas siapa? Apalagi Dewas yang dipilih presiden," ujat Syarif.
Kembali ke penolakan Jokowi atas terbitnya perppu, penolakan pertama disampaikan Jokowi langsung di Istana Kepresidenan, Senin (23/9/2019).
Saat itu merupakan hari pertama aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa titik di Indonesia, termasuk di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Salah satu yang mereka suarakan adalah penolakan pengesahan RUU KPK.