TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Pengesahan Tata Tertib (Tatib) secara sepihak oleh pimpinan Sidang Paripurna Luar Biasa (Sipurlub) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tanggal 18 September lalu, menyisakan persoalan yang akan mempengaruhi perjalanan, eksistensi, dan marwah kelembagaan serta keanggotaan ke depan.
Apalagi, mengingat dalam Sipurlub itu telah terjadi penolakan dari sebagian besar anggota DPD RI peserta sidang yang hak-haknya dikebiri melalui pematian mike di hadapan mereka. Akibatnya, Sipurlub itu berlangsung ricuh. Para anggota berhamburan ke meja pimpinan, sebagian saling mendorong, keamanan sampai turun tangan mencegah terjadinya perkelahian antar-anggota.
Cara-cara yang tidak wajar untuk memaksakan Tatib itu terus ditentang. Baik oleh anggota saat ini maupun anggota terpilih 2019-2024 yang mulai bertugas per tanggal 1 Oktober pekan depan. Tatib itu dinyatakan cacat formil dan cacat materiil.
Guna mencari solusi menyelesaikan masalah tersebut, anggota terpilih periode 2019-2024 asal Sulawesi Selatan, H. Tamsil Linrung, bersama anggota saat ini yang menjabat Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, John Pieris, mengupayakan pertemuan semua anggota.
“Diskusi bertajuk Membedah Tata Tertib DPD RI ini merupakan upaya dialogis untuk mendengarkan masukan semua pihak guna mencari titik temu agar perjalanan DPD ke depan tanpa beban,” kata H. Tamsil Linrung.
Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Tamsil, forum dirancang dialogis dan mengundang semua anggota DPD RI periode 2014-2019 maupun periode 2019-2024. “Baik yang setuju maupun yang menolak Tatib yang baru diajukan,” katanya.
“Kita ingin bersama-sama mengokohkan marwah lembaga. Tatib ini tentu saja salah satu titik tolak krusial. Panduan dan pedoman internal. Muatan Tatib harus merefleksikan kristalisasi spirit kelembagaan yang ingin kita bangun. Marilah berdialog dengan kepala dingin. Kita bangun DPD dengan nuansa kenegarawanan dan corak intelektual,” ajak senator asal Sulsel ini.
Aspek formil yang dinyatakan cacat pada Tatib tersebut meliputi penyusunan Revisi Tatib tidak sesuai prosedur Pasal 334 dan 335 Tatib No. 3/2018, karena usulan revisi tidak pernah diputuskan dalam Panmus dan Paripurna.
Seharusnya, perubahan secara substansi dilakukan oleh Pansus, sedangkan BK hanya terkait redaksional. Tapi yang dilakukan oleh Timja BK adalah perubahan redaksional dan substansial.
Cacat formiil selanjutnya ialah jumlah pasal yang diubah kurang lebih 50 pasal, artinya kurang dari 50%. Berdasarkan UU P3 harusnya Tatib tersebut disebut perubahan bukan penggantian sebagaimana yang disebut dalam Tatib yang membuat gaduh itu.
Sedangkan cacat materiil meliputi banyak aspek, antara lain terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPD dan pimpinan alat kelengkapan, yakni pimpinan DPD RI adalah representatif anggota DPD se-Indonesia. Karena itu, harus dipilih oleh seluruh anggota DPD (136 orang). Namun, Tatib itu mengatur diatur pimpinan DPD yang berasal dari sub-sub wilayah yang cukup dipilih oleh sub-sub wilayah bersangkutan.
Pemilihan cara ini membuat legitimasi pimpinan menjadi lemah dan terpaksa hanya fokus pada konstituen di wilayahnya sendiri.
Pada bagian lain, pimpinan sementara diatur dalam UU MD3 melaksanakan tugas pemilihan Pimpinan DPD dalam sidang paripurna. Namun, Tatib itu mengatur pemilihan sementara juga muncul dalam sidang sub-sub wilayah.
Cacat yang melampaui kewenangan sebuah Tatib dibanding undang-undang dan peraturan lain ialah dicantumkannya syarat menjadi Pimpinan DPD maupun Pimpinan MPR yang diskriminatif dan terkesan dipaksakan untuk kepentingan seorang calon belaka.
Diskriminasi itu melanggar dan bertentangan dengan Pasal 28i ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP, dan aturan perundangan lainnya.
Diskriminasi dalam Tatib juga juga penghilangan frase “memperhatikan keterwakilan perempuan” dalam pimpinan DPD RI yang jelas menabrak berbagai UU dan peraturan di atasnya, antara lain UU HAM, UU Pemilu, bahkan bertentangan dengan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Berbagai cacat formiil dan cacat meteriil itu membuat resah dan disharmoni di kalangan anggota DPD RI saat ini maupun yang baru terpilih atau terpilih kembali untuk periode 2019-2024.