TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diserang dari berbagai penjuru. Upaya itu dilakukan dengan cara menjelek-jelekkan citra komisi anti rasuah tersebut.
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengatakan bentuk serangan itu berupa penyebaran informasi-informasi hoaks mengenai lembaga penegak hukum tersebut.
Salah satu bentuk penyebaran hoaks adalah menyebut adanya kelompok taliban di KPK.
"(Taliban,-red) hoaks keterlaluan. Konyol, saya kira. Saya kira pola itu sengaja membuat persepsi seolah KPK jelek," kata Novel, ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Setelah berhasil membentuk opini mengenai citra KPK, kata dia, sejumlah pihak mengambil kesempatan untuk menerbitkan Undang-Undang tentang KPK hasil revisi.
"Sehingga, undang-undangnya diubah. Saya kira begitu," tuturnya.
Dia menilai, adanya revisi UU KPK itu membuatnya kesulitan bekerja.
Hal ini, karena sejumlah upaya proses hukum mulai dari penyelidikan hingga penuntutan yang dimiliki lembaga itu diperlemah.
Dia mengharapkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan presiden.
"Semoga keluarlah (Perppu,-red). Kalau tidak keluar bagaimana kita melakukan kegiatan dengan UU yang seperti itu. (Perppu,-red) Sangat diperlukan," tambahnya.
KPK Pasrah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasrah terhadap keputusan yang akan diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut revisi Undang-Undang KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, mengatakan saat ini pihaknya hanya bisa bekerja semaksimal mungkin untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Sekarang yang kami upayakan, KPK bekerja sebaik-baiknya dengan kewenangan yang ada. Menjalankan amanat ini sekuat-kuatnya. Dan juga meminimalisir efek kerusakan yang mungkin terjadi jika RUU baru berlaku," kata Febri kepada wartawan, Rabu (9/10/2019).