TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Projo (Pro Jokowi), menyatakan mundur dari kegiatan politik di seluruh Indonesia.
Menurut Sekjen Projo, Handoko mengatakan, tugas Projo sebagai relawan Jokowi telah selesai mengantarkan Jokowi menjadi presiden pada 2014 dan pemilu 2019 lalu.
Namun Handoko mengakui memang ada kekecewaan dari para relawan Projo atas masuknya Prabowo Subianto ke dalam Kabinet Jilid II Jokowi.
"Masuknya Pak Prabowo di kabinet sebagai menteri pertahanan, ini kan menimbulkan situasi yang tidak mudah. Di mana seorang rival dalam pertarungan yang keras kemudian ditambah isu HAM dan antidemokrasi ini menimbulkan ambigu yang luar biasa dan kawan-kawan kecewa," jelas Handoko kepada VOA, Rabu (23/10/2019).
Baca : Besok 25 Oktober CPNS 2019 Buka di sscasn.bkn.go.id, Ini Tahapan & Peryaratan, 40 Tahun Bisa Daftar
Baca : Tak Kunjung Ditelepon Jadi Menteri Apa, Luhut Ternyata Sempat Protes, Begini Jawaban Enteng Praktino
Baca: Kecewa Prabowo Subianto Dipilih Jokowi Jadi Menhan, PROJO Undur Diri
Handoko menambahkan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Projo untuk mundur.
Sebab, Jokowi tidak mungkin akan maju kembali pada pemilihan presiden pada 2024 mendatang.
Kendati demikian, ia menjelaskan Projo belum secara resmi membubarkan diri. Pembubaran Projo baru akan dibahas pada Kongres yang akan dilakukan pada Desember mendatang.
Projo didirikan dan dideklarasikan oleh sejumlah mantan aktivis mahasiswa yang sebagian menjadi kader PDI Perjuangan pada 21 Desember 2013 di Jakarta Selatan.
Mereka kala itu berusaha menyuarakan suara mayoritas di PDIP yang diam saat figur Jokowi muncul dalam panggung politik nasional.
Hingga kemudian, kala itu Jokowi terpilih sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan dan memenangkan pemilihan presiden 2014.
Dampaknya bagi Jokowi
Pengamat politik Syamsuddin Haris mengatakan mundurnya Projo dari kegiatan politik di Indonesia akan membuat dukungan publik terhadap rezim Jokowi akan semakin merosot.
Ini juga dapat mengakibatkan kurangnya keberhasilan program-program Jokowi selama lima tahun mendatang karena tidak mendapat dukungan publik.
"Dukungan publik bagi Jokowi berangsur merosot. Jadi Jokowi lebih mengandalkan dukungan kekuatan oligarki yang berpusat di partai-partai politik. Ketimbang dukungan dari publik sebagaimana yang kita lihat pada periode 2014-2019," jelas Syamsuddin Haris.
Baca: Jokowi Ingatkan Para Menteri Tidak Saling Serang di Luar Rapat
Syamsudin menambahkan koalisi partai gemuk Jokowi juga tidak dapat mendorong pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin akan lebih efisien.
Hal ini bisa berkaca pada pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi presiden dengan koalisi partai yang besar, yang hasilnya juga tidak efisien.
"Memang sih bisa dibaca lain ya, yaitu Jokowi tidak mau disandera oleh koalisi pendukungnya. Dia mau lebih independen menentukan siapa pembantunya dalam kabinet. Tapi dengan masuknya Prabowo mengecewakan banyak pihak. Bukan hanya Projo tapi juga pendukung Prabowo," tambah Haris.
Kata Haris, kebijakan politik Jokowi yang merangkul lawan politiknya tidak lazim dilakukan dalam politik nasional dan luar negeri. Di samping itu, semakin sedikit partai politik yang menjadi oposisi, maka semakin lemah pula kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan nama-nama menteri yang akan membantunya menjalankan roda pemerintahan untuk 5 tahun mendatang.
Dua di antaranya merupakan lawan politiknya pada pemilu 2014 dan pemilu 2019. Keduanya adalah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. [sm/jm]