News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Imparsial Tekankan Dua Hal yang Harus Disoroti Komisi I DPR Ketika Panggil Menhan Prabowo

Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat tiba di gedung Kementrian Pertahanan, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2019). Kedatangan Prabowo dalam rangka serah terima jabatan Menteri Pertahanan yang disambut upacara militer. Tribunnews/Jeprima

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Imparsial, Anton Aliabbas, menekankan dua hal yang perlu disoroti oleh Komisi I DPR RI yang berencana memanggil Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto.

Menurut Anton, pertama adalah terkait dengan janji Prabowo dalam debat Pilpres 2019 yang berencana membangun kembali sektor pertahanan RI untuk menjadi Macan Asia karena dinilai lemah.

Hal yang perlu diperhatikan Komisi I DPR RI adalah bagaimana langkah Prabowo sebagai Menteri Pertahanan untuk memajukan kemampuan pertahanan.

Baca: Perempuan Golkar Warnai Pimpinan AKD, Hetifah: Saatnya Membuat Kebijakan Lebih Inklusif

Baca: Sandiaga Uno dan Soetrisno Bachir Akan Berbagi Pengalaman Kelola Bisnis Dengan Anak Muda Yogyakarta

"Menjadi penting bagi Parlemen khususnya Komisi I untuk menyoroti apa program dan rencana strategis Prabowo dalam membangun sektor pertahanan ke depan?" kata Anton saat dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (29/10/2019).

Hal kedua yang perlu disoroti oleh Komisi I DPR adalah terkait anggaran.

Menurutnya, itu karena dalam lima tahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo sudah menaikkan anggaran pertahanan yang cukup signifikan.

Bahkan, menurutnya sepanjang 2014-2018, anggaran pertahanan Indonesia sudah berada lebih dari 1% Produk Domestik Bruto.

Menurut Anton, sekalipun meleset dari target 1,5% dari PDB, nilai anggaran pertahanan Indonesia sudah cukup besar.

"Sayangnya, selama periode pemerintahan Jokowi pertama, pengelolaan anggaran pertahanan masih belum memuaskan. Bahkan, pada tahun 2016, serapan anggaran pertahanan hanya mencapai 87,3 persen dari total anggaran Rp 112,3 triliun," kata Anton.

Selain itu, menurutnya peningkatan anggaran pertahanan juga tidak terlalu memberi kontribusi positif terhadap modernisasi alutsista.

Ia mengatakan, hal itu ditandai dengan semakin menurunnya proporsi alokasi modernisasi alutsista di dalam anggaran pertahanan.

"Tahun 2018 lalu hanya mencapai 9,1 persen dari total Rp 106,6 triliun, tahun 2019 ini turun lagi menjadi 8,58 persen dari total Rp 109,5 triliun. Dan tahun 2020 mendatang hanya dialokasikan 9,11 persen dari total anggaran 131,2 triliun," kata Anton.

Ia menilai, penurunan proporsi alokasi modernisasi alutsista ini tidak boleh dibiarkan begitu saja sebab percepatan modernisasi persenjataan Indonesia semestinya merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kenaikan anggaran pertahanan.

Menurutnya, di sisi lain, hasil audit BPK terhadap anggaran pertahanan juga sama.

Ia mengatakan, sepanjang 2015-2018, BPK hanya memberi penilaian Wajar Dengan Pengecualian dan baru tahun 2019, diberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian.  

"Oleh karena itu, Komisi I ke depan hendaknya bisa lebih cermat dan mendorong peningkatan proporsi belanja modal termasuk di dalamnya modernisasi alutsista," kata Anton.

Selain itu, menurutnya Komisi I hendaknya juga mendorong Kementerian Pertahanan untuk rutin mempublikasikan laporan kebijakan dan keuangan anggaran pertahanan setiap tahunnya guna mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di sektor pertahanan.

Karena menurutnya, dengan demikian, publik juga bisa ikut mengawasi penggunaan setiap rupiah oleh Kementerian Pertahanan.

Anton mengatakan, hal tersebut juga harus diikuti dengan dibuka kembalinya akses publik dalam rapat-rapat kerja dengan Kementerian Pertahanan.

Itu karena menurutnya, sejak 2013 lalu, Komisi I telah menutup rapat akses publik untuk mengikuti rapat kerja di sektor pertahanan.

"Mengingat pertahanan adalah urusan publik maka sudah tidak ada pembenaran yang dilakukan Komisi I untuk menggelar rapat kerja secara tertutup. Publik berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dalam rapat kerja termasuk apa yang dilakukan wakil rakyat dalam kegiatan tersebut," kata Anton.

Diberitakan sebelumnya, Politikus Golkar Meutya Hafid didapuk menjadi Ketua Komisi 1 DPR RI yang melingkupi tugas di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen.

Usai pelantikan sebagai Ketua Komisi 1, Meutya mengatakan akan langsung bekerja. Salah satunya memanggil menteri menteri yang baru duduk di kabinet untuk mengetahui program kerja yang akan dilakukan. 

"Tentu dari profil kementerian-kementerian yang jumlahnya juga banyak menteri-menteri baru yang merupakan mitra Komisi I. Kita akan coba panggil untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan, rencana-rencana apa ke depan yang akan dilakukan oleh Kementerian-kementerian yang cukup strategis di bawah Komisi I, termasuk tentu Kementerian pertahanan," ujar Meutya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (29/10/2019).

Selain memanggil Prabowo, Meutya juga akan memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini