Keterwakilan perempuan di DPR masih rendah, bagaimana cara Anda mendorong kader perempuan?
Sebetulnya kader perempuan itu banyak, kemudian kalaupun kita atau partai memanggil pasti ada. Cuma masalahnya perempuan itu tidak siap bertempur, tidak siapnya apa? Mungkin dia secara fisik siap, tapi secara finansial ini yang susah.
Karena memang seringkali satu biaya kampanye itu mahal sekali. Kemudian strateginya juga, strateginya untuk meraih kemenangan ini tidak selalu dimiliki oleh perempuan. Karena memang di politik itu harus tega-tegaan. Mungkin perempuan itu tidak tegaan gitu, maka angkanya selalu sedikit.
Kalau sekarang memang lah 19,8 persen dari 132 perempuan dari 575. Cuma dari persentase tersebut kan banyak yang berasal dari keluarga, Dinasti Politik, anaknya atau istrinya. Hanya sebagian kecil yang independen. Nah sebagian kecil yang independen itu yang struggle gitu bagaimana masuk meraih kemenangan.
Saya sudah empat kali bertarung ya, ikut pileg gitu, dua kali menang, dua kali kalah. Memang strategi di lapangan itu jadi penting gitu. Tim sukses juga menentukan.
Baca: Ogah Tampil Heboh Saat Pelantikan, Nurul Arifin Pakai Kebaya Kuning
Banyak elemen yang menentukan, kita membawa apa, untuk siapa, di mana, dan kapan, itu benar-benar harus berhitung secara tepat gitu. Jadi tidak bisa juga Anda banyak uang, terus menyebar uang begitu saja. Itu juga tidak akan jadi apa-apa kalau tidak disertai dengan strategi yang mantap.
Apa kiat Anda untuk menghadapi sorotan publik?
Kalau saya sih jadi politisi yang konvensional ya. Karena saya merasa kalau politik itu harus menganut nilai-nilai konvensional. Jadi di politik itu bukan selebritis.
Memang dia bisa menjadi selebritis politik tapi bukan selebritis artis. Jadi harus dibedakan, jadi ada prinsip-prinsip yang sifatnya konvensional. Ya kalau saya berpakaian jadi seorang politisi ya as politician gitu. Tidak terus menjadi artis atau profesi yang lainnya. Terus bersikap profesional lah mas.
Teman-teman saya yang artis kadang rindu juga, gua kangen ngeliat lu yang dulu katanya, ya ntar kalau ada waktunya kan. Kan teori Goffman pernah menyatakan dunia adalah panggung sandiwara, ada panggung depan dan back stage, nah ketika di panggung depan itu adalah panggung sandiwara, ketika di belakang kita kembali ke realitas.
Sebetulnya siapapun pasti begitu, anda juga pasti begitu. Mungkin di rumah beda lagi, sekarang di sini beda lagi wawancara. Saya juga jadi politisi beda, di panggung depannya. Jadi politisi itu makhluk biasa aja kadang memunculkan kegilaannya di back stage.
Baca: Bidadari-bidadari DPR Dilantik: Krisdayanti, Nurul Arifin, Rike, Mengapa Mulan Jameela Berantakan?
Saya dari pengalaman saya empat kali Pileg ketemu dengan lawan politik yang seperti itu. Politik itu satu konsensus ya, dan tidak boleh kalau mau jelek-jelekin habis, kalau mau muji-muji terserah sih tapi akhirnya orang melabelingnya beda. Tapi melihat segala sesuatunya biasa aja.
Iya kadang kita tidak menduga, misal karena pimpinan kita membenci atau melawan yang bersebrangan, kita ikut kan. Eh tahunya terus kita lebih galak gitu karena kita ngebelain ketua kita. Taunya ketua kita baikannya duluan, padahal masih tersisa di bawah (kebencian), sampai sekarang di grass root masih begitu. Udah bela-belain sampai mampus, tahunya sudah baikan yang di atas.
Ke depan ada impian apalagi?
Jadi kita di sini sekarang membuat UU, melakukan pengawasan, dan dalam membuat UU itu selalu ada apa.. Bukan beban sih, kalau saya berpikir itu saya berpikir untuk perempuan gitu, jadi saya memakai pisau analisa perempuan, yang ngomong saja perempuan kok (menunjuk diri sendiri), jadi sebetulnya apa yang disebut menjadi penting perempuan ada di parlemen adalah agar kebijakan-kebijakannya berperspektif perempuan.
Apa yang belum saya lakukan? Ya namanya orang kan tidak puas ya. Pasti selalu ingin berbuat, ingin apalah. Nah saya itu, satu mewakili perempuan, representasi perempuan.
Kedua bahwa jadi perempuan itu sebetulnya bisa kalau kita mau bersuara, bernego, berjuang dan sebagainya. Kalau ke depannya saya sih dunia aktivis itu tetap menarik buat saya. Sekarang saya baru terpilih saya akan menyelesaikan pekerjaan saya, kalau misalnya saya sampai ke depannya besok, saya ingin menjadi aktivis gitu ya.
Baca: Dulu Jadi Tim Kampanye di Pilpres, Nurul Arifin Tak Menyangka Kini Jadi Mitra Prabowo di Komisi I
Ke depannya kalau misalnya saya udah tidak lagi, tapi tetap saya di partai. Karena partai itu memang kan berorganisasinya, berstrateginya kemudian jaringannya, jadi partai itu sudah menjadi keluarga besar kita.
Kalau ada yang ngajakin main film, Joko Anwar misalnya?
Kalau Joko Anwar sih kayaknya aku pikirin banget. Siapa yang tidak mau sama dia (main film).
Kalau yang lain?
Eee.. tidak deh. Tidak terlalu sih, kecuali seseorang banget sih.
Joko Anwar dimata mbak?
Ya filmnya bagus.