TRIBUNNEWS.COM - Sofyan Basir, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau 1, Senin (4/11/2019).
Hal ini menjadi tamparan luar biasa bagi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) karena merupakan rekor tersangka ketiga yang lepas dari pengadilan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan kejadian ini bukan yang pertama kalinya.
Ia mengungkapkan sebelumnya pernah ada dua vonis bebas di tingkat pertama.
Tingkat pertama tersebut yakni Pengadilan Tipikor pada pengadilan negeri.
Mengutip dari Kompas.com, pertama, eks Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad, yang divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011.
Saat itu, jaksa menuntut Mochtar 12 tahun penjara.
Jaksa KPK juga menuntut agar Mochtar mengembalikan kerugian negara Rp 639 juta atas dakwaan untuk empat kasus korupsi.
Yakni suap anggota DPRD, penyalahgunaan dana anggaran makan minum, suap untuk piala Adipura, serta suap BPK untuk mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Kedua, Suparman, eks Bupati Rokan Hulu, Riau.
Suparman divonis bebas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Kamis, 23 Februari 2017.
Ia dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi pembahasan rancangan APBD Riau tahun 2014-2015.
Febri menjelaskan bahawa akhir dari peristiwa tersebut, Mahkamah Agung menerima pengajuan kasasi dan para terdakwa dijatuhi hukuman.
"Kemudian KPK mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan akhirnya Mahkamah Agung mengoreksi vonis bebas itu dan menjatuhkan pidana pada pidana terdakwa Mochtar Muhammad pada saat itu."
"Kemudian ada kasus di Riau juga, Rokan Hulu," jelasnya saat dimintai keterangan, sebagaimana dilansir KompasTV.
Febri mengatakan KPK sangat yakin perbuatan terdakwa terbukti.
Sehingga KPK mengajukan kasasi dan ternyata apa yang menjadi argumentasi KPK diterima oleh Mahkamah Agung pada saat itu.
Pihaknya mengatakan, upaya hukum akan semaksimal mungkin dilakukan.
Ia membela, KPK dalam vonis bebas kali ini bukanlah yang pertama.
Upaya hukum untuk menempuh kasasi ke Mahkamah Agung butuh waktu mempelajari lebih lanjut.
Pihak KPK juga harus menerima dulu sampai dengan putusan lengkap dari Pengadilan Tipikor, Jakarta, sehingga kemudian argumentasinya bisa mereka susun.
Lalu, apakah KPK merasa bahwa saat ini tingkat keberhasilan menjerat para terdakwa korupsi berkurang dan KPK lemah?
Febri menjawab apabila berbicara soal conviction right atau tingkat keyakinan maka tidak seratus persen lagi.
"Tapi bagi kami, poin yang paling penting sebenarnya bukan angka-angka atau presentase itu."
"Yang lebih penting bagi KPK adalah KPK harus bekerja dengan sangat hati-hati, membawa perkara itu ke persidangan dan mengusut terus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh berbagai pihak," pungkasnya.
Febri juga mengaku untuk mengusut tidaklah mudah.
Alasannya, pelaku korupsi itu memiliki jabatan, jaringan, akses sumberdaya keuangan, dan juga pengetahuan yang cukup untuk melakukannya.
Oleh karenanya, dalam konteks bebas kali ini, maka upaya hukum yang dilakukan KPK adalah kasasi.
Ia juga menerangkan bahwa KPK tidak akan menyerah mengenai kasus Sofyan Basir yang divonis bebas tersebut.
KPK yakin Sofyan Basir turut membantu melakukan tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 56 dan 12.
Namun, KPK menghormati akan adanya pendapat yang berbeda dari majelis hakim.
Febri menegaskan, penegakan hukum substansinya bukan conviction right, tapi bagaimana tidak pidana korupsi dapat diungkap lebih lanjut.
Sehingga, nantinya masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan juga pengembalian keuangan negara. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa, Kompas.com/Icha Rastika)