TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyayangkan antarmenteri di Kabinet Jokowi-Maruf Amin mempertontonkan kegaduhan di ruang publik.
Mereka adalah, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar.
Sri Mulyani menyebut ada dana desa sempat mengalir ke desa yang tak berpenduduk. Di ruang publik disebut sebagai "desa fiktif" atau "desa hantu".
Baca: Gubernur Sultra Ali Mazi Serahkan Kasus Desa Fiktif kepada Penegak Hukum
Baca: Mendes Bantah Desa Fiktif, Istana: Biarkan Pak Mendagri Bekerja
Baca: Ramai Desa Fiktif, Mendes Abdul Halim Iskandar Membantah: Sejauh Ini Belum Ada
Sebagai menteri yang bertanggungjawab pembangunan di desa, Abdul Halim Iskandar membantah keras pernyataan Sri Mulyani tersebut.
Abdul Halim Iskandar mengaku sudah melakukan penelusuran dan tak menemukan desa fiktif sebagai mana disebut Sri Mulyani.
"Sangat disayangkan publik dipertontonkan kegaduhan oleh dua menteri itu. Sebab mereka berdua dalam satu "perahu" yang sama, Kabinet Indonesia Maju," ujar Emrus kepada Tribunnews.com, Minggu (10/11/2019).
Emrus beranggapan, dua pandangan yang sangat berseberangan ini sejatinya diungkapkan dan dibahas tuntas dalam rapat internal kabinet. Bukan malah disuguhkan kepada publik.
Isu "desa fiktif", menurut dia, bisa dibahas di rapat kabinet paripurna yang dipimpin presiden. Bisa rapat kabinet terbatas yang dipimpin wakil presiden.
"Atau bisa juga dalam rapat kabinet khusus yang dipimpin oleh Menteri Kordinator yang terkait," ujarnya.
Di dalam rapat kabinet inilah, kata dia, Sri Mulyani dan Abdul Halim Iskandar bisa adu fakta, data, bukti, landasan hukum yang terkait, dan argumentasi.
Bahkan bila diperlukan saling mengemukakan dalil untuk membuat kesepakatan atau keputusan sebagai landasan dua menteri tersebut dalam berwacana di ruang publik tentang keberadaan desa yang sedang mereka ributkan itu.
Namun, persoalan sudah berbeda. Mereka berdua sudah terlanjur saling berseberangan tentang objek yang sama di ruang publik.
Perbedaan pandangan ini, menurut Emrus, harus mereka pertanggungjawabkan ke publik.
Jika dua pandangan yang berbeda tersebut ada kecocokan fakta, data dan bukti, hanya yang berbeda dari sudut pandang saja, ini lebih mudah melakukan klarifikasi di ruang publik.