Kurang lebih sama substansinya dengan salam umat Islam.
Kendati demikian, Muchlis mengatakan hal ini tentu kembali pada niat orang saat berucap.
Diketahui, semua agama meyakini Tuhan Yang Maha Esa.
"Zat Yang Wajibul-wujuud (Maha Ada), Yang Mahatinggi, Pencipta alam semesta dan Semua yang Wujud. Nama, sifat dan cara meyakininya bisa berbeda," terangnyanya dalam tulisannya yang diunggah di portal kemenag pukul 05.44 WIB.
Kemudian, dirinya menambahkan, beberapa salam tersebut berbeda nama, tapi tujuan sama.
Oleh karenanya, pihaknya mencontohkan kisah ulama, Al-Awzai dan al-Layts yang membolehkan sembelihan Ahlulkitab (Nasrani) yang disembelih dengan menyebut nama Yesus, Tuhan mereka.
Hal ini ia merujuk pada Ahkaam al-Qur'aan, al-Jasshash, 1/153.
"Ini tidak berarti semua agama sama. Masing-masing pemeluk agama berhak atas klaim kebenaran agamanya, tanpa menafikan eksistensi lainnya," ungkapnya.
Dirinya juga menegaskan, setiap pemeluk agama harus setia pada kebenaran tunggal yang diyakini.
Sehingga dalam hal ini, apabila pendekatannya teologis esoteris maka cukup pelik untuk dibahas.
Namun, bila pendekatannya secara sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengahnya.
Muchlis menjelaskan juga, dalam bersosial, terkadang harus ada mujaamalah (basa-basi) antara komponen masyarakat yang majemuk.
Salam lintas agama yang diucap pejabat menurutnya hanyalah sebuah tegur sapa sebagai bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama.
Tidak sampai pada masalah keyakinan.