(1) Tsunami Banggai-Sangihe 1858 yang menyebabkan seluruh kawasan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe dilanda tsunami,
(2) Tsunami Banggai-Ternate 1859 mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu tsunami,
(3) Gempa Kema-Minahasa 1859 juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk,
(4) Tsunami Gorontalo 1871 juga menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo,
(5) Tsunami Tahuna 1889 menerjang kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter,
(6) Tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang pantai setinggi 4 meter, dan
(7) Tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter.
Selain sejarah gempa dan tsunami masa lalu, catatan terbaru gempa kuat di Laut Maluku cukup banyak. Sebagian besar diantaranya berpotensi tsunami, seperti yang pernah terjadi pada: 1979 (M=7,0), 1986 (M=7,5), 1989 (M=7,1), 2001 (M=7,0), 2007 (M=7,5), 2009 (M=7,1), 2014 (M=7,3), 2019 (M=7,0), dan 2019 (M=7,1).
Gambaran kerangka tektonik, aktivitas kegempaan, dan sejarah tsunami di atas kiranya cukup untuk menyimpulkan bahwa kawasan Laut Maluku memang merupakan zona yang sangat rawan gempa dan tsunami.
Kondisi tektonik aktif dan kompleks ini tentu perlu mendapat perhatian khusus dan serius termasuk tantangan untuk merancang sistem mitigasi yang tepat untuk mengurangi risiko bencana gempabumi dan tsunami yang berpotensi terjadi di wilayah ini.*
Jakarta, 15 November 2019
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG
Dr. Daryono
(*)
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)