TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar mencoba membaca arah pemerintahan Jokowi Jilid II.
Tanggapan tersebut disampaikan Haris Azhar dalam acara Mata Najwa di Trans7, Rabu (20/11/2019).
Menurutnya, awal pemerintahan Jokowi saat ini masih sibuk pada diri sendiri.
"Sibuk pada diri sendiri saja, masih pada momentum mereka ini masih seneng, terus masih mencoba bagi-bagi, mengisi kursi-kursi, dan memunculkan kebijakan-kebijakan, memunculkan frase-frase kata seperti celana cingkrang dll," terang Haris Azhar.
Menurut Haris Azhar apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi saat ini belum masuk ke zona-zona yang substansial.
"Tapi menurut saya belum masuk ke wilayah, ke zona-zona substansi yang masyarakat itu sibuk terefresi, terdesak kebijakan-kebijakan lima tahun lalu," jelas Haris Azhar.
Namun, ia menuturkan jika masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan di periode kedua ini.
Meski sebulan ini pemerintah masih sibuk dengan merombak posisi pejabat.
"Masih ada harapan, masyarakat masih berharap dalam konteks negara dan warga negara, periode dua ini diperbaiki tapi kemarin sebulan ini masih sibuk pada soal merombak posisi orang-orang, masih sibuk soal Ahok, akhirnya orang kesedot lagi oleh soal sosok," ungkap Haris Azhar.
Lebih lanjut, Haris Azhar menilai ada tiga karakter pembagian kekuasan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.
Pertama, posisi yang terus diciptakan seperti penambahan wakil menteri (wamen).
"Saya membaca ada tiga karakter pembagian power sharing ini, pertama posisi yang terus diciptakan yakni wamen nanti ada wamen lagi," ujarnya.
Kedua, sibuk soal topik-topik pembangunan.
"Kedua nanti dia masih sibuk soal topik-topik pembangunan seperti pembagian kerja," kata Haris Azhar.
Ketiga, soal wilayah.
"Ketiga pada wilayah, yang main di Indonesia Timur, main di Indonesia Barat, main di pariwisata," tuturnya.
Haris Azhar menuturkan jika kedepan pemerintah akan sibuk terkait soal-soal tersebut sebagai konsekuensi dari periode kedua yang merangkul banyak orang untuk menjabat dalam pemerintahan Jokowi.
Namun, Haris Azhar menuturkan jika hal tersebut sebenarnya pemerintah hanya menyibukkan diri soal bagi-bagi kekuasaan.
"Kedepan akan sibuk dalam hal seperti itu karena ini mungkin konsekuensi dari periode kedua harus merangkul sebanyak mungkin (pejabat), tapi itu sebetulnya menyibukkan diri pada pemerintahan yang isinya bagi-bagi kekuasaan," jelas haris Azhar.
Janji Memangkas Birokrasi, Jokowi Justru Lantik 12 Wakil Menteri, Kabinet Dinilai Terlalu Gemuk
Presiden Jokowi resmi melantik 34 menteri dan 12 wakil menteri untuk membantu tugasnya Pada Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
Komposisi 34 menteri dan 12 wakil menteri Kabinet Indonesia Maju disebut sebagai kabinet yang terlalu gemuk.
Pengangkatan wakil menteri sebanyak 12 orang, dikritik sebagai kebijakan yang bertentangan dengan visi dan misi presiden yang fokus memangkas birokrasi bertele-tele dengan menghilangkan jabatan eselon sampai level empat.
Dikutip dari Tribunnews.com sebelumnya, Jokowi memiliki janji akan memangkas birokrasi dengan menghilangkan jabatan eselon yang saat ini sampai level empat.
Hal itu diungkapkan Jokowi saat dilantik menjadi presiden pada Minggu (20/10/2019).
Jokowi saat itu mengatakan akan menyederhanakan jabatan eselon sampai dua saja.
Namun, dalam lima hari seusai pelantikan, Jokowi mengangkat 12 wakil menteri yang disebut justru menggemukkan Kabinet Indonesia Maju.
Pengamat politik CSIC Arya Fernandes menjelaskan, kegemukan kabinet Indonesia Maju juga tercermin dari banyaknya wakil partai politik yang menduduki jabatan menteri.
"Terlalu mahal harga yang harus dibayar presiden untuk akomodasi partai politik, terutama dilihat dari peningkatan jumlah kursi menteri dari partai politik dan ada lima wakil menteri dari partai," tutur Arya Fernandes saat wawancara dalam acara Sapa Indonesia Malam KompasTV, Jum'at (25/10/2019).
Arya menambahkan, harga yang terlalu mahal diberikan presiden kepada partai politik dalam rangka melakukan akomodasi tidak berjalan linier dengan capaian kebijakan legislasi pemerintah.
Idealnya fungsi presiden dalam mengakomodir partai politik agar presiden bisa memastikan tiap agenda pemerintah diterima dan diloloskan menjadi kebijakan di parlemen.
Arya menjelaskan, sesuai data dalam Prolegnas lalu dari sekira 52 RUU yang diusulkan oleh presiden hanya 8 RUU yang disahkan menjadi UU.
Menurutnya, itu tidak ideal dengan usaha presiden untuk mengakomodir partai politik.
Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 terdiri dari 34 menteri, 4 pejabat setingkat menteri, dan 12 wakil menteri.
Empat di antaranya adalah wakil dari partai politik yang menduduki pos-pos strategis dalam kementerian perekonomian seperti menteri perekonomian, menteri perindustrian, menteri perdagangan, dan wakil menteri perdagangan.
"Bukan kita alergi dengan partai politik, tapi kalau kita ingin melihat keseriusan pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian, sejak awal banyak ekonom yang berpendapat sebaiknya kementerian dibidang ekonomi diisi oleh kelompok-kelompok profesional non partai," imbuhnya.
Meskipun kabinet Indonesia Maju sangat gemuk, Arya mengharapkan kerja kabinet menjadi lebih efektif.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)