TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan penambahan masa jabatan presiden membuat seolah-olah Indonesia krisis figur.
Hal tersebut disampaikan Titi Anggraini dalam acara Sapa Indonesia Malam, yang videonya diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (24/11/2019).
Titi Anggraini mengatakan Indonesia mempunyai perjalanan panjang hingga pada situasi sekarang, di mana masa jabatan presiden hanya 10 tahun atau dua periode.
Menurutnya sebagai negara yang berbentuk demokrasi, Indonesia dapat maju ke depan.
"Kita punya pengalaman panjang kenapa kita sampai pada titik ini," ucap Titi Anggraini.
"Sebagai sebuah negara demokrasi mestinya kita maju terus ke depan. Bukan kemudian diskursus yang semestinya kita sudah selesai, sudah tuntas itu kita buka-buka lagi," imbuhnya.
Titi Anggraini menuturkan, masa jabatan kepala negara harus dibatasi untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan hingga politik otoriter.
Sehingga orientasi pada figur tertentu harus dibatasi.
Titi Anggraini berpendapat, Indonesia seperti kekurangan figur politik padahal jumlah penduduknya lebih dari 250 juta jiwa dan terdapat 20 partai politik yang mengikuti Pemilu 2019 lalu.
"Kenapa kita membatasi masa jabatan, kita negara republik gitu ya bukan kerajaan. Maka kemudian upaya terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, lalu kemudian otoritarianisme, orientasi pada figur itu harus dibatasi," terang Titi Anggraini.
"Kita negara dengan penduduk yang sangat besar, partai politiknya banyak. Jadi kalau seolah-olah kita bersikap krisis figur itukan keterlaluan sekali," tambahnya.
Titi Anggraini menambahkan, wacana tersebut akan menjadi pintu masuk pelemahan praktik demokrasi di Indonesia.
Ia memberikan contoh negara Venezuela yang mengalami kemunduran dan berstatus tidak demokrasi diakibatkan dari mengamandemen konstitusinya dan mengganti ketentuan periode jabatan.
"Inikan soal gagasan menambah, pertama soal ini akan menjadi pintu masuk pelemahan praktik demokrasi," tutur Titi Anggraini.