"Kita sudah sangat tertingal karena terpaku dengan Aturan Tertulis, yaitu memutuskan perkara pukul rata dengan aturan di Undang-Undang yang ada saja, sedangkan zaman sudah berkembang melalui pembaruan teknologi," tekan Bilal Rehman.
Akibatnya, lie detector, dan penemuan-penemuan baru, tidak dapat digunakan dalam sistem hukum yang kita anut saat ini. Hanya berpatokan kepada aturan yang tertulis saja, makanya sisten hukumnya agak tertingal.
Sedangkan ke depannya kejahatan atau crime bisa saja terjadi lewat hal-hal baru yang belum dicantumkan dalam Undang-Undang.
Nantinya, menurut dia, Hakim di Indonesia harus memvonis suatu kasus dengan memaksa aturan dalam pasal yang tertuang di Undang-Undang yang ada saja saat ini.
Contoh Bom Bali jilid Satu, saat itu divonis dengan undang-undang KUHP karena Lex specialis derogat legi generali (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Karena Undang Undang Terorismenya belum dibuat, dan untuk memutuskan perkara kita menganut Asas Non-retroaktif (Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut).
"Jadi, secara umum Undang-Undang bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut," kata Bilal Rehman.
Untuk perkara First Travel, menurut dia, putusan Hakim di Mahkamah Agung diputus berdasarkan aturan Undang-Undang, jika dicermati Hakimnya seperti sangat berhati-hati tidak mau membuat terobosan, "Ya mungkin takut menjadi preseden buruk untuk perkara-perkara lain," katanya.
"Saya pribadi sebagai seorang praktisi hukum sangat sedih atas putusan tersebut, walau putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim tentang aset First Travel tidak menyalahi, baik secara aturan maupun etik.Tetapi fungsi hukum dan pengadilan adalah Keadilan itu sendiri, " imbuh Bilal Rehman, sembari melempar pertanyaan retoris, "Sekarang saya tanya, adilkah aset-aset tersebut yang notabane bukan dari negara harus dibalikan kepada negara, kan jawabannya tidak".
Oleh karena itu sebaiknya dan seadilnya Hakim dalam memutus perkara aset First Travel, menurut Bilal Rehman, negara harus membuat Komisi Ganti Rugi, untuk mengurus aset aset First Travel agar kembali ke para jamaah yang sudah membayar dan tertipu.
"Komisi tersebut kan bisa memformulasi kira-kira dalam bentuk apa pengembalian kerugian. Aset-aset tersebut bisa dilelang dan dikembalikan kepada jamaah yang notabene adalah hak mereka," katanya.
Berapapun jumlahnya, keadilan harus diberikan kepada korbannya, karena itu hak mereka. Walau dalam kenyataan di Mahkamah Agung tidak berjalan seperti itu.
"Semoga di langkah upaya hukum terakhir, yaitu PK (Peninjauan Kembali) terhadap perkara ini Pak Presiden Jokowi merestui keinginan jamaah agar aset tersebut dibalikkan kepada mereka (korban) yang berhak atas aset tersebut," pungkasnya.