TRIBUNNEWS.COM - Pegiat Media Sosial Permadi Arya atau Abu Janda menyebut adanya polarisasi atau terbelahnya masyarakat berawal dari aksi 212 pada 2016 lalu.
Diketahui, aksi gerakan 212 pada 2016 itu memang terjadi berdekatan dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Sehingga menurut Abu Janda, sejak Pilkada DKI Jakarta saat itu, menyebabkan polarisasi dalam masyarakat.
"212 ini kan semenjak pilkada memang sudah terjadi polarisasi, kan," kata Abu Janda di Studio Gedung Menara Kompas, Senin (2/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Abu Janda juga mengatakan, ada kelompok yang tidak setuju dengan aksi 212 dengan narasi penistaan agama yang disebut dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat itu.
"Karena 212 dengan narasinya Ahok menistakan agama, sementara ada sebagian kelompok lain yang tidak setuju dengan narasi 212," kata dia.
Menurutnya, organisasi masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama (NU) termasuk dalam kelompok yang tidak setuju adanya gerakan 212 pada saat itu.
"Termasuk NU yang menjadi ormas terbesar di Indonesia, dengan jamaah Islam terbanyak di Indonesia, tidak setuju waktu itu," ungkap Abu Janda.
Ia menyebut polarisasi sejak 2016 masih ada saat pemilihan presiden pada 2019.
Menurutnya, saat itu 212 mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Abu Janda menyebut, polarisasi yang terus ada itu menyebabkan masyarakat Indonesia terpecah.
"Terus ini polarisasinya nyambung ke pilpres, karena 212 di pilpres waktu itu dukung 02, dan polarisasi ini yang menyebabkan terpecahnya bangsa ini yang semakin mengkristal," kata dia.
"Karena yang dukung Pak Prabowo waktu itu orangnya itu-itu saja," lanjut Abu Janda.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Alumni (PA) 212, Slamet Ma'arif mengatakan, sekat antara warga negara Indonesia sejak pemilihan presiden beberapa waktu lalu sudah hilang.