Diskriminasi tersebut misalnya dalam bentuk uang terbang serta penerbangan jarak jauh tanpa menginap.
Penerapan penerbangan jarak jauh tanpa menginap itu menghilangkan travel allowance awak kabin.
"Penerbangan jarak jauh dengan tidak menginap itu kan coast produksi nya kecil. Jadi menghilangkan travel allowance kita, menghilangkan biaya penginapan kita, menghilangkan biaya loundry kita, di-cut off tadi, jadi biaya-biaya yang harus kita terima hilang," ungkapnya.
Diskriminasi Sifatnya Punisment
Selain itu, juga ada diskriminasi yang sifatnya punishment.
Soal membawa barang berlebihan, jika hal tersebut dilakukan oleh pemegang bagian penting di Garuda Indonesia maka tidak akan dipermasalahkan.
"Misalkan pilot membawa barang legal berlebihan itu tidak masalah hanya membayar pinalti saja sudah," ujarnya.
Namun, saat awak kabin membawa barang berlebihan langsung dilaporkan ke pusat dan memperoleh punishment.
"Kita bekerja dalam perusahaan yang sama tapi perlakuan perusahaan pada kita berbeda," ujarnya.
Menurut Zaenal Muttaqin, dari dulu sampai sekarang ada semacam kekuatan tidak berbentuk yang mengendalikan organisasi di perusahaan Garuda Indonesia.
"Board of Directors (BOD) mau semacam apapun juga kalau orang-orang di bawah ini tidak dikendalikan itu sama hasilnya," ungkap Zaenal Muttaqin.
Zaenal Muttaqin menuturkan, kejadian soal diskriminasi ini sudah lama berhembus di Garuda Indonesia.
Namun diperparah setelah periode kepemimpinan eks Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Nanda Lusiana Saputri)