Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menyepelekan klaim sepihak Cina atas perairan Natuna.
"Pak Jokowi menyatakan tidak takut terhadap mereka yang mengklaim Natuna Utara. Itu untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Pernyataan terbuka itu, sekarang lah saat membuktikannya, ketika ada kengototan pihak Cina untuk melanggar kedaulatan teritorial Indonesia di Natuna Utara”, kata Hidayat Nur Wahid, Minggu (5/1/2020).
Baca: Indonesia Perlu Maksimalkan Langkah Diplomasi di PBB dan Kerahkan Kapal Militer Jaga Perairan Natuna
Selain itu, Hidayat Nur Wahid juga mengritik keras pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta ketegangan dengan Tiongkok karena insiden di Natuna tak perlu dibesar-besarkan.
Apalagi alasannya karena berkaitan dengan investasi Tiongkok di Indonesia, terutama terkait dengan perpindahan Ibukota, karena Cina akan menjadi investor terbesar untuk membangun Ibukota yang baru.
Hidayat menilai pernyataan tersebut tidak pantas karena keutuhan NKRI tidak boleh dikalahkan dengan alasan investasi.
Baca: Susi Tanggapi Sikap Prabowo soal Natuna: Bedakan Pencurian Ikan dengan Persahabatan Negara
“Apalagi soal pembangunan Ibukota yang baru, belum ada payung hukumnya. Padahal soal Natuna, adalah soal keutuhan dan kedaulatan NKRI dan banyak orang selalu meneriakkan NKRI harga mati,” katanya.
Menurut Hidayat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang disahkan oleh DPR periode lalu, tindakan klaim sepihak China sudah masuk ke dalam kategori ancaman terhadap NKRI.
“Pasal 4 ayat (3) menyebutkan bahwa pelanggaran wilayah perbatasan masuk kepada kategori ancaman terhadap NKRI. Pemerintah mestinya juga harus segera menjalankan UU ini, di antaranya dengan menyusun program bela negara, pembentukan Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan,” ujarnya.
Baca: Sikap Tegas Laksdya TNI Yudo Margono Usir Kapal-kapal China Penerobos ZEE Natuna: Jangan Ngotot
Meskipun demikian Hidayat memuji dan mendukung sikap tegas Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi yang tegas menolak klaim sepihak itu.
“Kini ketika Jubir Menlu Cina ngotot klaim atas kawasan yang oleh UNCLOS diakui sebagai bagian dari NKRI, maka demi NKRI harga mati, mestinya Presiden RI koreksi sikap Menko Maritim, dan perintahkan kepada Menkopolhukam dan Menhan untuk mendukung dan menguatkan sikap Menlu yang tegas menolak klaim Tiongkok terhadap Natuna Utara,” katanya.
Hidayat meminta pemerintah fokus menyelesaikan masalah Natuna tanpa mengesampingkan perosalaan dalam negeri yang tidak kalah pentingnya yakni soal Jiwasraya.
“Dua kasus ini memang harus terus dikawal, jangan saling menafikan. Mengkritisi keras pelanggaran Cina di Natuna untuk jamin keutuhan dan kedaulatan NKRI. Tetapi jangan lupa, tetap fokus juga pada realisasi program membentuk Pansus Jiwasrayagate di DPR-RI,” katanya.
Perlu maksimalkan langkah diplomasi di PBB
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha menilai Indonesia perlu memaksimalkan langkah diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam merespon klaim Cina di Perairan Natuna.
Langkah diplomasi tersebut menurutnya perlu dimaksimalkan karena Cina dan empat negara lainnya merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
"Langkah diplomasi khususnya perlu dimaksimalkan di organisasi PBB, dimana Cina bersama empat negara lainnya yaitu Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB," kata Syaifullah ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Minggu (5/1/2020).
Baca: Mahfud MD Sebut Tidak Ada Negosiasi dengan China Terkait Natuna
Ia pun menilai Indonesia tetap perlu mengerahkan kapal perangnya untuk menjaga Perairan Natuna.
"Indonesia perlu memaksimalkan langkah diplomasi dalam merespon masuknya Coast Guard Cina di Perairan Natuna yang masuk dalam perairan Indonesia tersebut dengan sambil tetap pengerahan kapal militer untuk menjaga perairan Laut Cina Selatan," kata Syaifullah.
Selain itu, ia juga mendorong agar pemerintah secara konsisten meningkatkan anggaran militer Indonesia yang idealnya 1,5% dari PDB atau sebesar Rp300 Triliun.
Baca: Bahas Kapal China Terobos ZEE Natuna, Pengamat Militer Paparkan PR Besar Prabowo dan Jokowi
"Tahun ini anggaran militer Indonesia baru Rp131 Triliun," kata Syaifullah.
Ia menilai, peningkatan anggaran militer tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk menjaga wilayah Indonesia lainnya yang sangat luas baik laut, darat, dan udara namun juga khususnya untuk wilayah-wilayah sensitif seperti Perairan Natuna dan perairan Papua.
Ia menilai, manuver Coast Guard Cina yang mengawal kapal-kapal ikan mereka di Perairan Natuna yang diklaim Cina sebagai Laut Cina Selatan merupakan upaya Cina untuk menunjukkan kekuatan militernya ke dunia internasional.
Baca: Soal Kapal Asing Pencuri Ikan Masuk ke Natuna, Luhut Binsar Panjaitan Bela Edhy Prabowo
"Itu karena beberapa waktu sebelumnya kapal perang Amerika Serikat bermanuver di sekitar Kepulauan Spratly atau pulau buatan Cina di atas batu karang yang berada di dekat Filipina yang juga termasuk dalam kawasan Laut Cina Selatan," kata Syaifullah.
Menurutnya, Laut Cina Selatan merupakan perairan yang selama ini menjadi titik ketegangan yang melibatkan beberapa negara yaitu Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Cina.
"Cina telah memperhitungkan kemungkinan terburuk dari manuver mereka di Laut Cina Selatan tersebut, termasuk kemungkinan kontak senjata dengan kekuatan militer Indonesia," kata Syaifullah.
Tegas tolak klaim Cina
Pemerintah Republik Indonesia (RI) menegaskan menolak klaim histori Cina atas Laut Natuna, Kepulauan Riau.
Ketentuan dalam United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB pada tahun 1982 harusnya dihormati semua pihak termasuk Cina.
"Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016," dalam keteranga tertulis Kementerian Luar Negeri RI, Senin (30/12/ 2019) lalu.
Baca: Hakim Pertanyakan Gelar Doktor Administrasi Nurdin Basirun Saat Bersaksi di Pengadilan
Indonesia telah mengirim nota protes ke RRT dan memanggil Duta Besar Cina di Jakarta.
"Dubes RRT mencatat berbagai hal yang disampaikan dan akan segera melaporkan ke Beijing. Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia," lanjut keterangan itu.
Tak hanya itu, Kementerian yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) RetnoMarsudi itu juga tak mengakui klaim Jubir Kemlu Cina Geng Shuang pada tanggal 31 Desember 2019.
Baca: Menlu Sampaikan Empat Sikap Tegas Indonesia Atas Kapal-kapal Cina di Perairan Natuna
Klaim Shuang atas historis RRT atas ZEE Indonesia didasari dengan alasan, para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982.
"Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan RRT sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim," seperti dikutip rilis Kemlu, Rabu (1/1/2020).
Sikap Menkopolhum
Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaman Mahfud MD mengatakan secara hukum Cina tidak punya hak untuk mengklaim Perairan Natuna Kepulauan Riau sebagai wilayahnya.
Ia menjelaskan, sejak dulu Indonesia tidak punya konflik tumpang tindih perairan dengan Cina di wilayah tersebut.
Baca: Panglima TNI, Menhan, Hingga Menlu Merapat ke Kemenko Polhukam
Ia menjelaskan, Cina pernah punya konflik tumpang tindih perairan dengan sejumlah negara antara lain Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, dan Taiwan di Laut Cina Selatan yang telah diselesaikan lewat SCS Tribunal pada 2016.
"Kalau secara hukum, Cina tidak punya hak untuk mengklaim itu karena Indonesia tidak punya konflik perairan, tumpang tindih perairan," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Jumat (3/1/2020).