Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, Indonesia akan menyelesaikan persoalan kedaulatan dengan Cina melalui upaya diplomasi dan militer.
Menurutnya ada dua pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan persoala di perairan Natuna.
"Pendekatan diplomasi atau pedekatan politik melalui diplomasi. Diplomasi dimulai dengan yang soft. Sampai dengan yang hard. Berikutnya pendekatan militer atau keamanan, pertahanan keamanan," kata Moeldoko saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta Pusat, Senin (6/1/2019).
Baca: Edhy Prabowo: Kita Tidak Boleh Kalah dengan Garakan Kapal Cina
Terkait pendekatan diplomasi, ia menuturkan melalui menteri luar negeri RI maupun menteri pertahanan RI akan melakukan pembicaraan tingkat tinggi dengan pihak Cina.
"Sekarang menteri sudah melakukan langkah-langkah diplomasi," ungkap Moeldoko.
Sementara dengan pendekatan militer ia mengungkapkan, TNI telah mengambil langkah tepat untuk mengamankan wilayah perairan Indonesia.
Baca: Klaim Sepihak China, Nelayan Pantura: Natuna adalah Bagian NKRI, Kami Siap Berlayar di Sana
"TNI sudah mengambil langkah-langkah antisipasif, dengan mengerahkan berbagai kekuatan untuk mengisi area Natuna. Bagi saya intinya kedaulatan tidak bisa dinegosiasikan," katanya.
Nelayan Pantura siap melaut di perairan Natuna
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Riswanto mengaku siap untuk melaut dan turut menjaga perairan Natuna dari pencuri ikan.
Hal itu disampaikanya usai mendapat pengarahan dari Menko Polhukam Mahfud MD bersama ratusan nelayan pantai utara (Pantura) Jawa di ruang Nakula, Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).
"Intinya kami siap, bahwasanya Natuna adalah bagian dari NKRI dan kami siap mengisi, siap kami berlayar di laut Natuna dengan apa yang nanti akan menjadi aturan, kami siap mengikuti," kata Riswanto.
Baca: Luhut dan Mahfud MD Janji Selesaikan Omnibus Law Keamanan Laut untuk Back Up Bakamla
Diketahui, Pemerintah akan mengirimkan 120 nelayan Pantura ke Laut Natuna untuk melaut di sana.
Alasannya, banyak kapal-kapal asal Cina yang mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Riswanto mengatakan, program melaut ke Natuna sebenarnya sudah diarahkan pemerintah sejak Menko Kemaritiman era Rizal Ramli.
Namun, kala itu arahan tersebut terhenti tanpa alasan yang jelas.
Kini, nelayan kembali diarahkan untuk melaut di ZEE Indonesia setelah kapal Cina kedapatan mengambil ikan secara ilegal.
Baca: Soal Natuna, Mahfud MD Tegaskan Tak Akan Perang Lawan Cina, Tapi Menolak Jalur Diplomasi
"Sekarang ketika kita ada permasalahan ini baru kita kembali untuk diarahkan ke Natuna. Padahal menurut pemerintah sumber daya ikan di sana sangat melimpah dan patut kita kelola oleh nelayan-nelayan kita sendiri," jelasnya.
Meski demikian, Riswanto mengungkapkan kendala yang dihadali nelayan Pantura jika harus melaut ke perairan Natuna.
Yakni, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya akomidasi.
"Untuk kapal-kapal di atas 30 gross ton (GT) kita kan memakai BBM industri. Sedangkan biaya yang kita butuhkan untuk melaut ke Natuna itu tidak sedikit. Termasuk paling besar adalah biaya operasional terkait dengan harga BBM itu," katanya.
Baca: Bakamla Ubah Pola Operasi Sikapi Masuknya Kapal Cina ke Perairan Natuna
Menurutnya, sebelum subsidi BBM untuk nelayan dicabut, banyak nelayan yang berlayar ke Natuna.
Tapi, ketika subsidi BBM dicabut dan dibatasi hanya untuk (kapal) 30 GT ke bawah, biaya operasional untuk melaut menjadi mahal.
"Padahal kita sifatnya adalah mencari ikan yang belum tentu kita dapat hasil ikannya," katanya.
Moeldoko jamin keamanan nelayan Indonesia di perairan Natuna
Kepala Staf Presiden, Moeldoko mengatakan, pemerintah memberi jaminan keamanan kepada nelayan Indonesia yang melaut di perairan Natuna.
Hal itu diungkap Moeldoko saat disinggung terkait langkah Menkopolhukam Mahfud MD yang akan mengirimkan 120 nelayan ke perairan Natuna.
"Pemerintah berikan jaminan kepada siapapun yang melakukan kegiatan mencari ikan di sana itu harus kita amankan," kata Moeldoko saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).
Moeldoko menambahkan, perairan Natuna yang memiliki sumber daya alam melimpah itu perlu dimanfaatkan nelayan dalam negeri.
Baca: Bakamla Ubah Pola Operasi Sikapi Masuknya Kapal Cina ke Perairan Natuna
"Itu sangat penting dimanfaatkan nelayan kita, karena kalau enggak itu area (perairan Natuna) itu menjadi kosong," lanjut dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan mengirim 120 nelayan dari wilayah perairan Natuna untuk melaut.
Hal itu sebagai upaya pemerintah Indonesia melindungi Natuna dari pihak asing.
Baca: Pasukan TNI di Perairan Natuna Diperkuat, Mahfud MD Tegaskan Tidak Ada Perang dengan China
"Salah satu keputusan ikutan dari situ adalah kita mau memobilisasi nelayan-nelayan dari Pantura dan mungkin pada gilirannya dari daerah-daerah lain di luar Pantura untuk beraktivitas kekayaan laut, mencari ikan dan sebagainya di sana," kata Mahfud MD, Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).
Mahdud MD juga meminta nelayan tidak perlu khawatir akan keselamatan saat melaut di Natuna.
“Dan saudara akan dilindungi oleh negara tidak akan ada tindakan tindakan fisik yang mengancam saudara. Yang penting saudara nyaman di situ negara nantinya akan mengawal kegiatan saudara di situ,” ucap Mahfud.
5 Kapal Coast Guard Cina Masih Berada di Sekitar Perairan Natuna
erdasarkan pantauan Bakamla RI, dua kapal coast guard Cina masih berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau, Minggu (5/1/2020) pukul 17.00 WIB.
Sementara tiga kapal coast guard Cina dan kapal ikan lainnya terpantau berada di luar ZEE Indonesia.
Tidak hanya itu, Bakamla juga masih melihat sejumlah kapal ikan Cina yang beroperasi di perairan tersebut.
Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Laksamana Pertama Bakamla Nursyawal Embun, mengatakan hingga pukul 17.00 WIB terpantau ada lima coast guard Cina.
Baca: Pantang Negosiasi Soal Natuna, Ini Pernyataan Tegas Mahfud MD Apabila Kapal China Masuk
"Tapi dari lima hanya ada dua yang berada di garis yurisdiksinya Indonesia yaitu di ZEEI kita dan yang tiga masih berada di luar. Lalu ada beberapa kapal ikan Cina juga termonitor," kata Nursyawal.
Ia mengatakan, saat ini Kapal Negara Tanjung Datu milik Bakamla dan sejumlah kapal Perang Republik Indonesia (KRI) masih berada di perairan tersebut untuk terus memantau pergerakan kapal ikan dan coast guard Cina yang masih beraktifitas di perairan tersebut.
Rencananya, satu kapal lagi milik Bakamla dan tiga kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga akan bergabung melaksanakan penegakan hukum di perairan tersebut.
Baca: Mahfud MD Sebut Tidak Ada Negosiasi dengan China Terkait Natuna
"Ini kalau misalkan nanti juga sudah bergabung dan kalau menemukan lagi kapal ikan Cina di perairan yurisdiksi kita, kita mungkin akan kontak radio dan mungkin akan melakukan penangkapan. Karena itu sudah bukan wilayah mereka. Belum ada klaim resmi dari Cina," kata Nursyawal.
Terkait dengan langkah konkret penegakkan hukum berupa penangkapan, menurutnya hal itu dimungkinkan.
Tetapi semuanya tergantung dari keputusan Komandan pengamanan di lapangan.
"Ya pokoknya nanti, seperti yang sudah saya sampaikan, memang cuma tiga institusi yang punya kewenangan di wilayah yurisdiksi, hak berdaulat kita. Nanti tinggal komandan di lapangan yang akan mengambil keputusan apabila memang kita masih bertemu dengan kapal ikan Cina yang masih beraktifitas di perairan yurisdiksi kita," kata Nursyawal.
Baca: Ibaratkan Kasus Natuna seperti Sakit Jantung, Pengamat Militer Minta Jokowi Bersikap Tegas
Nursyawal menjelaskan, saat ini pemerintah masih menerjunkan kapal Bakamla dan KKP yang akan bergabung untuk melakukan penegakan hukum karena kapal coast guard dan kapal ikan Cina adalah kapal sipil.
Meski begitu, ia memastikan sejumlah kapal dari unsur TNI AL khususnya Kogabwilhan I juga telah berada di sana untuk mendukung pengamanan wilayah kedaulatan Indonesia yang sudah ditetapkan UNCLOS 1982 tersebut.
"Karena aktifitas itu kan dilakukan oleh kapal-kapal non militer ya. Artinya Coast Guard itu adalah kapal sipil. Makanya kita yang di depan harus kapal KKP dan kapal Bakamla. Nanti KRI akan memback up," kata Nursyawal.
Baca: Hidayat Nur Wahid Puji Retno Marsudi dan Kritik Luhut Panjaitan Terkait Klaim Cina di Laut Natuna
Ia mengatakan, sejauh ini telah melakukan kontak radio dan coba mengusir kapal coast guard Cina dari wilayah perairan ZEEI.
Meski begitu, upaya tersebut juga mendapat perlawanan berupa manuver-manuver penghalangan dari kapal coast guard Cina.
"Tanggal 31 Desember kemarin KRI bertemu dengan kapal Coast Guard Cina, di saat KRI ingin menghadang, mereka melakukan manuver-manuver menghalang-halangi upaya KRI," kata Nursyawal.
Dari hasil pantauan Bakamla, ia mengatakan hari ini belum melihat kapal nelayan Indonesia yang berada di wilayah yurisdiksi perairan Indonesia tersebut.
Meski begitu, ia menilai ada baiknya jika kapal nelayan Indonesia juga berada di wilayah tersebut untuk menangkap ikan agar keadannya berimbang.
"Sejauh ini kami belum memonitor kalau ada kapal ikan Indonesia yang berada di sana. Ada bagusnya juga kalau mungkin ada kapal ikan Indonesia di sana untuk perimbangan, jadi adil kapal ikan Indonesia ada di sana," kata Nursyawal.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan empat poin sikap pemerintah Indonesia atas masuknya sejumlah kapal nelayan dan Coast Guard Cina ke Perairan Natuna sejak beberapa hari lalu.
Sikap tersebut disampaikan secara tegas usai Rapat Paripurna Tingkat Menteri yang bertujuan untuk menyatukan dan memperkuat posisi Indonesia dalam menyikapi situasi di Perairan Natuna di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Jumat (3/1/2020).
Rapat tersebut dipimpin oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan dihadiri oleh Panglima TNI Mersekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Siwi Sukma Adji, Kepala Bakamla Laksamana Madya A Taufiqoerrahman, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
"Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia," kata Retno.
Kedua, Retno menegaskan wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yakni UNCLOS 1982.
Ketiga, Retno menegaskan Tiongkok merupakan salah satu pihak dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu Retno menagaskan Tiongkok wajib untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
"Keempat, Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak, yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," tegas Retno.
Selain hal tersebut, Retno juga mengatakan dalam rapat tersebut disepakati pula akan adanya intensifikasi patroli di wilayah Perairan Natuna.
"Dari rapat tadi juga disepakati beberapa intensifikasi patroli di wilayah tersebut dan juga kegiatan-kegiatan perikanan yang merupakan hak bagi Indonesia untuk mengembangkannya di Perairan Natuna," kata Retno.