Kemudian, efisiensi daya angkut hasil ikan yang tidak visible dari sisi teknis dan ekonomis dibandingkan biaya operasional karena ukuran kapal yang terlalu kecil.
Dampak dari regulasi tersebut berakibat ribuan kapal nelayan yang memiliki GT diatas 150 tidak beroperasi sehingga mengakibatkan kekosongan di wilayah ZEE. Setidaknya ada ribuan kapal yang tidak bisa beroperasi.
“Ada sekitar 1.000 lebih kapal tidak bisa beroperasi, kapal-kapal tersebut hanya bersandar di pesisir laut, ada di Muara Baru, Muara Angke, Indramayu, Pekalongan, Pati, Banyuwangi. Nah seharunya kalau kapal-kapal nelayan ini beroperasi, mereka juga bisa turut serta mengamankan dan menjaga laut kita dari kapal-kapal china atau asing,” ujar BHS.
Selain itu, Pria yang hobi olahraga ini juga mengkritisi kebijakan mantan Menteri KKP Susi yang lainnya.
Ia tidak setuju dengan adanya Permen KP No 32/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup yang melarang penggunaan cantrang, pukat, troll kecil (jaring aktif) yang juga berakibat beralihnya pengunaan dengan menggunakan gillnet (jaring pasif).
“Penggunaan Gillnet tersebut dapat mengganggu pelayaran dunia khususnya seperti di wilayah perairan Laut Natuna karena dalam penggunaannya dapat mencakup radius wilayah hingga 10 km. Hal ini dapat mengganggu dan membahayakan kapal-kapal logistik maupun penumpang Internasional yang melintas di jalur internasional yang terpadat di dunia,” Bambang memaparkan.
“Padahal nelayan dari negara Vietnam, Tiongkok dan lain-lain masih menggunakan Pukat yang dikarenakan dilarangnya penggunaan Gillnet di alur pelayaran internasional,” imbuhnya.
Karena itu, BHS berharap, di bawah koordinasi Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini dapat dilakukan pencabutan atau perubahan regulasi dan kebijakan yang selama ini telah menyulitkan dunia industri perikanan Indonesia, khsusnya masyarakat nelayan kecil demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan.